I.
PENDAHULUAN
Ada
berbagai macam cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan pemikiran sehingga
sastra sering dipandang sebagai suatu bentuk filsafat. Baik sastra maupun
filsafat adalah dunia pemikiran. Sebagai suatu dunia pemikiran, sastra tidak
bisa melepaskan diri dari keadaan lingkungannya. Karena itu sastra pada
hakikatnya adalah suatu tiruan dari kenyataan atau mimesis (Darma, 2004: 40-41). Di samping itu, sastra sering
dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Analisis pemikiran
pengarang secara perorangan tidaklah mudah karena sikap dan pemikiran tidak
dapat diformalisasikan secara nyata dan jelas (Wellek dan Warren, 1995: 134,
143)
Selain itu, karya seni dapat dianggap sebagai hasil
dari penciptanya secara pribadi sehingga sastra harus dipelajari melalui
biografi dan psikologi pengarangnya (ibid.: 79). Istilah “Psikologi Sastra”
memiliki beberapa macam pengertian: (a) studi pengarang sebagai pribadi, (b)
studi proses kreatif, (c) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra, dan (d) studi dampak sastra pada para pembaca. Yang paling
berkaitan dengan bidang sastra adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra (ibid.: 90). Karya sastra kadang-kadang menyajikan
tokoh-tokoh yang memenuhi atau berlaku sesuai dengan “kebenaran psokologis”.
Dan karya sastra juga dapat menyajikan situasi-situasi yang kadang-kadang tidak
masuk akal dan motif-motif yang fantastis. Pemikiran psikologis dapat menambah
nilai artistik karena dapat menunjang koherensi dan kompleksitas karya sastra
(ibid.: 107-108).
Novel “Lingkaran
Kabut” karya Korrie Layun Rampan (2003) merupakan karya seni yang kreatif
dan imajinatif yang merupakan ekspresi pribadi pengarangnya yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaaan, ide, dan semangat keyakinan dalam bentuk
karya sastra (Sumarjo dan Saini, 1991). Novel ini menceritakan kisah pertemuan
tokoh-tokoh utamanya yaitu Risda dan Rusdi selama tiga hari di suatu seminar di
suatu hotel berbintang di Jakarta. Pertemuan ini merupaka reuni yang tak
terduga bagi keduanya setelah selama lima belas tahun berpisah. Dulu mereka
adalah sepasang kekasih. Tuntutan kehidupan mereka masing-masing membuat mereka
berpisah dan menempuh jalan hidup masing-masing dan kini mereka telah
berkeluarga. Usai seminar, mereka memiliki banyak kesempatan untuk mengulang
kisah percintaan mereka sebebas-bebasnya karena keluarga mereka tidak ikut
serta dan tinggal di hotel tersebut. Namun kesetiaan mereka terhadap pasangan
mereka masing-masing membuat mereka terhindar dari perbuatan maksiat yang
menjerumuskan mereka yang dapat menghancurkan mahligai pernikahan dan rumah
tangga yang telah mereka bangun dengan susah payah yang pada awalnya dibangun
tanpa landasan cinta.
Berdasarkan uraian di atas, secara umum, makalah
ini akan membahas hubungan-hubungan antara novel tersebut, sebagai salah satu
bentuk karya sastra, dengan pemikiran pengarangnya dan biografi psikologi
pengarangnya. Makalah ini bertujuan untuk menjawab permasalahan menemukan
nilai-nilai filsafat dan psikologis yang ingin disampaikan oleh pengarang novel
ini. Secara lebih spesifik, makalah ini berupaya menjawab permasalahan berikut
ini:
Ø
Nilai-nilai filsafat atau pemikiran-pemikiran
filosofis apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel “Lingkaran Kabut” dan bagaimana pemikiran-pemikiran filosofis
tersebut tercermin di dalam novel itu?
Ø
Bagaimana motivasi dan perilaku tokoh-tokoh utama
novel “Lingkaran Kabut” itu?
II.
SINOPSIS NOVEL “LINGKARAN
KABUT”
Novel “Lingkaran
Kabut” ini dimulai dengan kisah pertemuan tanpa rencana antara Risda dan
Rusdi di suatu seminar tiga hari di suatu hotel berbintang di Jakarta. Risda
merupakan salah satu peserta seminar tersebut, sedangkan Rusdi adalah salah
satu nara sumbernya. Lima belas tahun sebelumnya mereka berdua adalah sepasang
kekasih. Rusdi adalah cinta pertama bagi Risda, begitu pula sebaliknya.
Sehingga pertemuan ini mengakibatkan getar-getar cinta dan api asmara yang telah mereka
pendam dalam-dalam di hati sanubari mereka muncul kembali dan membuat mereka
mengenang masa silam dan ingin mengulang kisah romantis yang pernah mereka
alami.
Dulu ketika mereka masih menjadi sepasang kekasih,
tiba-tiba ayah Risda tewas dalam kecelakaan kapal di laut pada saat ia pergi
berlayar dengan membawa modal untuk berdagang yang diperolehnya dari hutang
kepada beberapa orang termasuk seorang lintah darat yang kejam, sehingga
keluarga Risda harus menanggung beban hutang yang amat berat. Risda sebagai
anak tertua bekerja membantu seorang dokter praktek. Namun, pendapatan yang
diperoleh Risda tidaklah mencukupi untuk membayar hutang almarhum ayahnya.
Lintah darat itu lalu menawarkan suatu solusi dari masalah tersebut. Ia meminta
Risda untuk menikah dengannya dan hal itu berarti hutang ayahnya akan dianggap
lunas. Di tengah kegalauan hati Risda, majikannya yang seorang dokter
melamarnya dan berjanji untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga Risda,
terutama masalah finansial tersebut. Risda kemudian menerima lamaran dokter itu
dan mereka akhirnya menikah dan tetap menetap di kota kelahirannya itu.
Meskipun pernikahan Risda ini merupakan upaya menyelesaikan persoalan keluarga,
namun Risda tetap berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya dan ibu
yang baik bagi anak-anaknya. Di samping itu, Risda juga membangun wirausaha
yang cukup maju di kota itu.
Pernikahan Risda membuat hati Rusdi hancur. Dia tak
berdaya untuk menolong keluarga Risda karena pada saat itu dia sedang
melanjutkan pendidikannya di kota lain. Akhirnya dia tetap melanjutkan
kuliahnya sampai akhirnya dia menyunting seorang gadis yang mau menerima dia
dan kejujurannya. Mereka akhirnya menetap dan bekerja sebagai dosen di
Surabaya.
Pertemuan tak terencana antara mereka berdua di
seminar itu membuat mereka akhirnya menghidupkan kembali api asmara yang telah mereka pendam di lubuk yang
dalam. Mereka mengadakan pertemuan yang intim setiap kali seminar usai pada
malam harinya. Sebenarnya mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan
sejak lama, namun kesetiaan pada pasangan masing-masing dan keikhlasan serta
ketulusan menerima takdir bahwa mereka, meskipun saling menyintai sampai kapan
pun, tetap tidak dapat saling memiliki dan menyatu dalam satu mahligai
pernikahan.
III. NILAI FILSAFAT NOVEL “LINGKARAN
KABUT”
Berdasarkan sinopsis di atas, novel “Lingkaran Kabut” ini sarat akan
nilai-nilai filsafat melalui pemikiran atau gagasan filosofis tentang kehidupan yang ingin
disampaikan pengarangnya. Hal ini dibuktikan bahwa di dalam novel ini terdapat
banyak pemikiran filosofis pengarangnya, seperti yang terdapat pada beberapa
kutipan berikut:
Ø Dalam hidup ini tidak
perlu dikejar bahagia atau derita. Karena semuanya ada di dalam diri. Apa yang
ingin dimiliki, ia hanya dikembangkan dari dalam. Yang mana yang harus
diredamkan, yang mana yang harus ditumbuhkan. Tergantung pilihan (hlm. 6).
Ø Suami, anak,
perusahaan, dan pendidikan. Lebih dari sebuah gedung yang tinggi. Kalau hidupmu
diibaratkan emas, ia lebih dari kilau emas puncak Monas (hlm. 7).
Ø Yang membebani adalah
perasaan. Jika semuanya diperbuat dalam suka, maka buahnya hanyalah sukacita.
Yang membebani hanyalah hati yang menolak memberi. Jika tangan memberi dengan
hati yang rela, maka buahnya adalah hati yang menerima dalam sayang yang penuh
cinta (hlm. 8).
Nilai-nilai filsafat yang tercermin di dalam novel
tersebut meliputi:
A.
Pilihan
dalam hidup
Dalam novel ini, pengarang ingin menyapaikan
gagasan filosofisnya bahwa di dalam kehidupan ini terdapat banyak pilihan.
Manusia dikaruniai oleh Tuhan akal dan kemampuan berfikir agar dapat menentukan
pilihan yang tepat. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut ini:
Dalam hidup ini tidak
perlu dikejar bahagia atau derita. Karena semuanya ada di dalam diri. Apa yang
ingin dimiliki, ia hanya dikembangkan dari dalam. Yang mana yang harus
diredamkan, yang mana yang harus ditumbuhkan. Tergantung pilihan… . Menjalani
tanpa pilihan pun berarti suatu pilihan. Yang penting, risikonya harus diterima
dengan sukarela (hlm. 6).
Nilai filsafat tentang pilihan-pilihan dalam hidup
ini tercermin juga di dalam tokoh-tokoh utama novel ini, yaitu Risda dan Rusdi.
Risda dihadapkan beberapa pilihan ketika ayahnya meninggal dunia dan
meninggalkan banyak hutang yang harus dibayar oleh keluarganya- apakah dia
tetap menjadi kekasih Rusdi dan setia menunggunya hingga ia menyelesaikan kuliahnya
di luar kota tetapi membiarkan keluarganya merasa takut dan terancam setiap
kali para penagih hutang mendatangi rumah mereka, atau haruskah dia menikahi
rentenir yang sudah memiliki istri namun hutang keluarganya telah lunas
sehingga keluarganya menjadi aman dan tentram, atau ia harus menikahi dokter
yang memiliki perbedaan usia yang cukup besar dan yang bersedia menanggung
segala hutang ayahnya meskipun ia tidak menyintai dokter itu. Akhirnya Risda
memilih pilihan terakhir untuk bersedia menikah dengan dokter yang selama ini
dia bantu meskipun hatinya runtuh dan ini berarti dia akan kehilangan
kekasihnya.
Rusdi juga dihadapkan pada pilihan-pilihan- apakah
dia akan meninggalkan kuliahnya lalu
menikahi Risda padahal studi yang sedang dia perjuangkan nantinya dapat
membahagiakan Risda sendiri kalau mereka menikah nantinya karena pendidikan
tinggi lebih menjanjikan kekayaan dan kesejahteraan atau dia tetap melanjutkan
studinya di luar kota meskipun hal ini berarti dia harus kehilangan Risda untuk
dimiliki orang lain. Pilihan terakhir inilah yang kemudian harus dipilihnya
setelah Risda memutuskan untuk menikahi dokter itu.
B.
Ketulusan
dan keikhlasan menerima takdir
Nilai filsafat berikutnya adalah ketulusan dan
keikhlasan untuk menerima takdir Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini
ada yang mengaturnya, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia sebagai makhluk-Nya
harus tulus dan ikhlas menerima apa yang telah direncanakan-Nya sehingga timbul
kedamaian dan ketentraman hati karena hal itu adalah yang terbaik bagi
makhluk-Nya sebagaimana yang terdapat pada kutipan berikut ini:
Nasib,
peruntungan, rezeki, bahkan jodoh dan perkawinan adalah rencana Allah (hlm. 29)
Tak ada
yang sempurna bagi manusia. Yang sempurna adalah hati yang berpada pada
keadaan. Menerima yang lebih lebih atau kurang dalam jumlah yang cukup (hlm. 35).
Hal ini tercermin dari ketulusan dan keikhlasan
Risda dan Rusdi untuk menerima takdir yang telah ditetapkan-Nya. Meskipun
takdir itu kadang-kadang bertentangan dengan harapan mereka dan bahkan takdir
itu membuat hati mereka terluka. Namun hal itu mungkin adalah jalan yang
terbaik sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Semuanya
memporakporandakan apa yang sedang kuanyam dalam hati dan pikiran. Nasib
menulis lain dalam hidupku, dan takdir membawa segala yang harus kuterima
dengan hati yang luka (hlm. 13)
Bukankah
nasib dan peruntungan yang akhirnya berperan di dalam hidupku, sehingga aku
harus menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan suamiku pun kutemukan karena
nasib… Menerima sesuatu tanpa meminta adalah jalan terbaik yang mungkin di
tempuh (hlm. 33-34).
Aku
selalu melihat yang terbaik, Risda. Meskipun apa yang seharusnya tak terjadi.
Meskipun ada lara dan sakit yang mula-mula menorah dada. Tetapi jika semuannya
dipandang dalam wajah molek rupa, semuanya jadi begitu cantik (hlm. 43).
C. Kesetiaan dan keteguhan pada suatu komitmen
Pemikiran filosofis lainnya yang ingin disampaikan
oleh pengarang adalah kesetiaan dan keteguhan memegang suatu komitmen. Menurut
pengarang, setia adalah kemampuan memenangkan pertempuran terhadap diri
sendiri. Kesetiaan adalah kejujuran yang jujur. Namun kesetiaan membutuhkan
pengorbanan yang nantinya akan melahirkan kebahagiaan.
Hal ini tercermin juga dari kesetiaan Risda dan
Rusdi pada cinta mereka berdua sekaligus keteguhan mereka pada suatu komitmen
(baca: pernikahan) untuk pasangan mereka masing-masing. Meskipun hal ini
berarti bahwa mereka harus menderita karenanya. Namun mereka sadar bahwa
pengorbanan mereka nantinya kan menimbulkan kebahagiaan mereka dan orang-orang
yang mereka cintai sebagaimana kutipan berikut:
Setia
adalah kemampuan memenangkanpertempuran terhadap diri sendiri. Kesetiaan adalah
kejujuran yang jujur. (hlm. 32)
Tidakkah
semuanya lebih dari makna setiadan pemenangan dari derita hidupku dan
keluargaku? (hlm. 33)
Di samping itu, kesetiaan dan keteguhan terhadap
komitmen dicitrakan dari kedua tokoh tersebut ketika mereka bertemu kembali dan
berkesempatan untuk berdua-duaan di kamar hotel dan dalam suasana yang sangat
romantis namun mereka tidak sampai melakukan hal-hal di luar batas yang
melanggar norma-norma agama dan susila karena mereka setia dan berpegang teguh
pada komitmen yang telah mereka ikrarkan di hadapan Tuhan kepada pasangan
mereka masing-masing, seperti yang dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
Tidak!
Aku kini tidak akan melakukannya.
Kau tetap
kekasihku. Sampai kapan pun kau tetap kekasihku, Risda. Akan tetapi kau bukan
istriku. Aku mencintaimu karena cinta. Akan tetapi nasib dan takdir memisahkan
kita, hingga kita tak menjadi suami istri. Aku mencintaimu. Aku akan selalu
mencintaimu. Akan tetapi kembalilah kepada suami dan anak-anakmu. Seusai
seminar aku akan kembali kepada istri dan anak-anakku (hlm. 74).
D.
Cinta
sejati
Nilai filsafat berikutnya adalah cinta sejati.
Menurut pemikiran pengarang, cinta sejati adalah cinta yang suci, luhur, dan
bertanggung jawab serta merupakan nafas kehidupan. Tanpa cinta sejati hidup ini
akan mati. Cinta suci karena tidak boleh dinodai oleh hal-hal yang nista
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Cinta
yang dewasa bukan hanya bukan hanya perasaan yang bergelombang dan menerawang
ke langit baru. Cinta juga tak hanya tanggung jawab pada harta dan tubuh. Cinta
adalah keseluruhan keberadaan yang berpada dengan keadaan lelaki dan wanita
yang menyatukan diri dalam persekutuan rumah tangga (hlm. 36).
Cinta
sejati tak kan pernah menodai secara tidak sah. Tidak! Cinta sejati adalah
napas yang terhirup dalam paru-paru tanggung jawab kehidupan (hlm. 74).
Cinta sejati ini tercermin dari cinta yang dimiliki
oleh kedua tokoh utama cerpen ini, yaitu Risda dan Rusdi. Mereka saling
memiliki cinta sejati. Cinta mereka lahir dari ketulusan dan kejujuran, dan
mereka selalu menjaga kesucian cinta itu sendiri. Cinta itulah yang membuat
mereka tetap hidup dan menjalankan kehidupan rumah tangga masing-masing dengan
baik meskipun cinta ini tidak menyebabkan mereka saling mendampingi sebagaimana
yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Emosi
masa silammu dating tanpa kau sadari. Kita memang sudah saling memahamitapi
kita tak mungkin menjadi saling mendampingi. Segala yang silam sudah silam.
Segala yang silam tak mungkin kita gali lagi mayatnya di dalam kubur kesilaman.
Kita masing-masing menyongsong masa depan yang lain, yang akan datang bukan
kelampauan, Risda (hlm. 72).
IV. NILAI PSIKOLOGIS NOVEL “LINGKARAN
KABUT”
Selain filsafat, sastra dapat juga berhubungan
dengan psikologi. Dalam karya sastra terdapat tokoh-tokoh yang dicitrakan.
Tokoh-tokoh tersebut memiliki berbagai macam kepentingan dan masalah. Karena
adanya kepentingan dan masalah inilah mereka saling berinteraksi. Dari
interaksi inilah pemcaca dapat menyimak watak masing-masing tokoh. Aapa yang
dilakukan mereka, baik yang dipercakapkan maupun yang dipikirkan, merupakan
refleksi jiwa masing-masing (Darma, 2004: 130).
Dalam menulis karya sastra, pengarang mungkin tidak
menyadari bahwa melalui interaksi para tokoh di dalam karyanya sebetulnya dia
menggambarkan masalah kejiwaan. Oleh karena itu, sastra dapat menjadi sumber
penting bagi para psikiater dan psikolog untuk melahirkan teori psikologi
mereka.Konflik-konflik kejiwaan yang bergejolak di dalam diri tokoh-tokoh utama
novel “Lingkaran Kabut” ini merupakan
nilai-nilai psikologis yang ingin diketengahkan oleh pengarangnya. Konflik
psikologis tersebut merupakan menjadi ajang perang batin yang tak terkira
sebagaimana yang terdapat pada petikan berikut ini:
Sebagai
istri, dan sebagai ibu, aku harus menempatkan diriku sebagai pribadi yang
kukuh, meskipun seringkali aku merasa hampir-hampir roboh. Seperti pohon yang
terkena angin badai di dalam pusaran topan. Memang hatiku sering dibadai rusuh
dan rasa keruh. Yang membuat kekuatanku kadang hilang dan terbang. Bagaikan
daun dalam angin, bagai laying-layang yang tanpa kendali di awan yang tinggi.
Serasa hidupku tanpa gantungan dan tali pengikat. Itu yang membuat aku betah
pergi, meskipun kutahu tugasku yang berat sebagai ibu, istri, dan pimpinan
perusahaan. Akan tetapi hatiku yang terpenjara ingin sesekali merdeka,
menemukan, dan ditemukan rasa kasih yang penuh, dan rasa keduaan yang utuh (hlm. 26).
Tokoh-tokoh
utama novel ini memiliki masalah psikologis karena memiliki permasalahan yang
dilematis (decisional crisis). Risda,
misalnya, memiliki kekasih, Rusdi. Baginya, Rusdi adalah segala-galanya
baginya. Namun takdir berkehendak lain. Masalah finansial yang melanda
keluarganya membuat dia tidak dapat menikah dengan Rusdi karena Rusdi pada saai
itu tidak bisa membantunya menyelesaikan masalah keluarganya tersebut. Dia
terpaksa menerima lamaran atasannya yang seorang dokter senior yang usianya tak
lagi muda namun dapat membayar hutang-hutang keluarganya. Pernikahannya adalah
upanya membebaskan keluarganya dari lilitan hutang yang selama ini membelenggu
keluarganya.
Dalam membina rumah tangganya, Risda berusaha
menjadi istri sekaligus ibu yang baik bagi suami dan ketiga anaknya. Namun,
suaminya bukanlah kekasihnya. Cintanya kepada suaminya bukanlah cinta seorang
kekasih, tapi lebih cenderung merupakan pengabdian dan loyalitas kepada
kesakralan suatu pernikahan. Cintanya tetap untuk Rusdi. Perasaan ini
dipendamnya di lubuk hatinya yang paling dalam selama lima belas tahun sebelum
akhirnya dia bertemu dengan Rusdi di seminar itu. Berikut ini adalah
kutipannya:
Betapa
aku menjadi sangat terikat, rasanya tubuhku dibebat oleh tali-tali rumah tangga
yang membuat gerakku sangat terbatas. Kakiku yang melangkah seperti tidak
melangkah. Tanganku yang menggapai serasa tak pernah sampai. Seperti aku
berenang dalam lautan tak bertepi, dilimbur ombak dan gelombang pasang, aku
serasa dalam kawah yang menganga. Hanya hujan dan terik yang menimpa.
Selebihnya adalah hatiku yang tergeletak di depan pintu (hlm. 8).
Rusdi yang mengalami patah hati setelah mengetahui
bahwa kekasihnya, Risda, akhirnya menikah dengan dokter tersebut, tetap
melanjutkan kuliahnya. Menurutnya, membangun masa depan yang terbaik adalah
dengan dengan pendidikan. Harta dapat habis, akan tetapi ilmu yang ada di
kepala tidak akan pernah dimakan api atau ditelan banjir banding. Dan baginya
pendidikan lebih penting daripada larut di dalam kesedihan dan kehancuran,
sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Kesilaman
bukan hanya mimpi, kesilaman adalah kenyataan yang harus kita bina pada yang
terbaik dalam hidup yang baik (hlm.
27).
Lalu dia berjumpa dengan seorang wanita yang dapat
memerimanya apa adanya termasuk kisah masa silam dirinya dengan Risda. Lalu
mereka menikah dan memiliki tiga orang anak. Ketulusan hati wanita itu untuk
menerima kejujuran Rusdi inilah yang membuat Rusdi begitu menyayangi istri dan
anak-anaknya, sebagaimana yang terdapat di dalam kutipan berikut ini:
Cinta
yang dewasa bukan hanya perasaan yang bergelombang dan menerawang ke langit
biru. Cinta juga tak hanya tanggung jawab pada harta dan tubuh. Cinta adalah
keseluruhan keberadaan yang berpada dengan keadaan lelaki dan wanita yang
menyatukan diri dalam persekutuan rumah tangga (hlm. 36)
Yang
dicari adalah bahagia di dalam rumah tangga, Risda. Ya, bukan? Karena apalah
artinya kita tersenyum di sana, tertawa di anu, sementara rumah tangga
berantakan? Sementara anak-anak bagaikan biji sesawi yang diterbangkan angina
terserak ke segala arah dan tumbuh di lading-ladang yang mandul (hlm. 56)
Sehingga, ketika terbuka kesempatan dirinya untuk
memadu kasih kembali dengan Risda, Rusdi tidak gegabah untuk melakukan
perbuatan yang nista dan mengkhianati istri dan keluarganya demi cinta yang
hanya ada dalam impiannya. Ia melakukan apa yang harus dia lakukan. Menurutnya
akar harmonisasi adalah keterbukaan dan kesetiaan.
Berbeda dengan Rusdi, Risda belum menyadari hal
ini. Sehingga ketika pertemuan tanpa rencana yang merupakan ajang reuni bagi mereka
berdua, Risda masih sangat mengharapkan Rusdi mengulangi romantisme mereka
seperti yang pernah mereka alami lima belas tahun yang lalu. Risda baru
menyadarinya ketika pada akhirnya dia mengetahui bahwa istri Rusdi lumpuh.
Kebaikan hati dan rasa kemanusiaan yang tinggilah yang juga kemudian membuat
Risda tidak mau mengkhianati ketulusan dan kesetiaan istri Rusdi.
Akhirnya Risda dan Rusdi sama-sama menyadari
eksistensi masing-masing dan inilah penyelesaian akhir dari konflik psikologis
yang melanda kedua tokoh utama novel ini sebagaimana yang terdapat dalam
kutipan berikut ini:
Kurasakan
dadaku tak lagi menyenak seperti tadi. Lega! Lega sekali! … namun kini aku
merasakan ada sesuatu yang aneh karena dadaku terasa begitu segar. Jika itu
kesegaran, mungkin kesegaran itu adalah kesegaran rimba perawan di lekuk ujung
dunia. Jika kesegaran itu adalah kebajikan, mungkin kebajikan itu adalah
sesuatu yang paling mulia. Jika kesegaran itu adalah cinta, mungkin itulah
cinta sejati seorang kekasih sejati (hlm. 209).
V.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
Ø
Novel “Lingkaran
Kabut” karya Korrie Layun Rampan memiliki nilai-nilai fisafat, yaitu hidup
adalah memang untuk mencari kebenaran. Dalam kehidupan kita banyak terdapat pilihan.
Kadang-kadang, kita dapat memilihnya sendiri atau takdirlah yang memilihnya
untuk kita. Kalau takdir memilihkannya untuk kita, kita harus menerima dengan
lapang dada dan ihklas, Karena barangkali inilah yang memang terbaik untuk
kita. Dan inilah nantinya yang akan membawa ketentraman hati kita. Oleh karena
itu, kita harus tetap setia dan
berpegang teguh terhadap komitmen yang telah kita tetapkan apa pun yang
terjadi.
Ø
Novel “Lingkaran
Kabut” karya Korrie Layun Rampan memiliki nilai-nilai psikologis yang salah
satunya tercermin melalui perilaku dan motivasi tokoh-tokoh utamanya. Konflik kejiwaan yang membelenggu kedua tokoh
tersebut mewarnai perilaku dan motivasi mereka. Pada akhirnya mereka berdua
menyadari jati diri masing-masing dan inilah merupakan solusi dari konflik
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2005. Pengantar
Apresiasi Sastra. Bandung:
PT. Sinar Baru Algesindo.
Darma, Budi. 2007. Bahasa,
Sastra,dan Budi Darma. Surabaya:
Jawa Pos Group.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori
Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Luxemburg,
Jan van, dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Luxemburg,
Jan van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta:
PT. Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press.
Perrine, Laurence. 1988. Literature: Structure, Sound, and Sense:
Fifth Edition. Orlando,
Florida: Harcourt Jovanovich
Publishers.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Lingkaran
Kabut. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sumarjo, Jacob dan Saini, K.M. 1991. Apresiasi
Kesusatraan.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2005. Teori Kesusasteraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta:
Giri Mukti.
No comments:
Post a Comment