Thursday, April 16, 2015

ANALISA NILAI FILSAFAT DAN PSIKOLOGIS ”LINGKARAN KABUT” KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN


I.            PENDAHULUAN
Ada berbagai macam cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan pemikiran sehingga sastra sering dipandang sebagai suatu bentuk filsafat. Baik sastra maupun filsafat adalah dunia pemikiran. Sebagai suatu dunia pemikiran, sastra tidak bisa melepaskan diri dari keadaan lingkungannya. Karena itu sastra pada hakikatnya adalah suatu tiruan dari kenyataan atau mimesis (Darma, 2004: 40-41). Di samping itu, sastra sering dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Analisis pemikiran pengarang secara perorangan tidaklah mudah karena sikap dan pemikiran tidak dapat diformalisasikan secara nyata dan jelas (Wellek dan Warren, 1995: 134, 143)
Selain itu, karya seni dapat dianggap sebagai hasil dari penciptanya secara pribadi sehingga sastra harus dipelajari melalui biografi dan psikologi pengarangnya (ibid.: 79). Istilah “Psikologi Sastra” memiliki beberapa macam pengertian: (a) studi pengarang sebagai pribadi, (b) studi proses kreatif, (c) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (d) studi dampak sastra pada para pembaca. Yang paling berkaitan dengan bidang sastra adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra (ibid.: 90). Karya sastra kadang-kadang menyajikan tokoh-tokoh yang memenuhi atau berlaku sesuai dengan “kebenaran psokologis”. Dan karya sastra juga dapat menyajikan situasi-situasi yang kadang-kadang tidak masuk akal dan motif-motif yang fantastis. Pemikiran psikologis dapat menambah nilai artistik karena dapat menunjang koherensi dan kompleksitas karya sastra (ibid.: 107-108).

Novel “Lingkaran Kabut” karya Korrie Layun Rampan (2003) merupakan karya seni yang kreatif dan imajinatif yang merupakan ekspresi pribadi pengarangnya yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaaan, ide, dan semangat keyakinan dalam bentuk karya sastra (Sumarjo dan Saini, 1991). Novel ini menceritakan kisah pertemuan tokoh-tokoh utamanya yaitu Risda dan Rusdi selama tiga hari di suatu seminar di suatu hotel berbintang di Jakarta. Pertemuan ini merupaka reuni yang tak terduga bagi keduanya setelah selama lima belas tahun berpisah. Dulu mereka adalah sepasang kekasih. Tuntutan kehidupan mereka masing-masing membuat mereka berpisah dan menempuh jalan hidup masing-masing dan kini mereka telah berkeluarga. Usai seminar, mereka memiliki banyak kesempatan untuk mengulang kisah percintaan mereka sebebas-bebasnya karena keluarga mereka tidak ikut serta dan tinggal di hotel tersebut. Namun kesetiaan mereka terhadap pasangan mereka masing-masing membuat mereka terhindar dari perbuatan maksiat yang menjerumuskan mereka yang dapat menghancurkan mahligai pernikahan dan rumah tangga yang telah mereka bangun dengan susah payah yang pada awalnya dibangun tanpa landasan cinta.
Berdasarkan uraian di atas, secara umum, makalah ini akan membahas hubungan-hubungan antara novel tersebut, sebagai salah satu bentuk karya sastra, dengan pemikiran pengarangnya dan biografi psikologi pengarangnya. Makalah ini bertujuan untuk menjawab permasalahan menemukan nilai-nilai filsafat dan psikologis yang ingin disampaikan oleh pengarang novel ini. Secara lebih spesifik, makalah ini berupaya menjawab permasalahan berikut ini:
Ø  Nilai-nilai filsafat atau pemikiran-pemikiran filosofis apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel “Lingkaran Kabut” dan bagaimana pemikiran-pemikiran filosofis tersebut tercermin di dalam novel itu?
Ø  Bagaimana motivasi dan perilaku tokoh-tokoh utama novel “Lingkaran Kabut” itu?

II.          SINOPSIS NOVEL “LINGKARAN KABUT”

Novel “Lingkaran Kabut” ini dimulai dengan kisah pertemuan tanpa rencana antara Risda dan Rusdi di suatu seminar tiga hari di suatu hotel berbintang di Jakarta. Risda merupakan salah satu peserta seminar tersebut, sedangkan Rusdi adalah salah satu nara sumbernya. Lima belas tahun sebelumnya mereka berdua adalah sepasang kekasih. Rusdi adalah cinta pertama bagi Risda, begitu pula sebaliknya. Sehingga pertemuan ini mengakibatkan getar-getar cinta dan api asmara yang telah mereka pendam dalam-dalam di hati sanubari mereka muncul kembali dan membuat mereka mengenang masa silam dan ingin mengulang kisah romantis yang pernah mereka alami.
Dulu ketika mereka masih menjadi sepasang kekasih, tiba-tiba ayah Risda tewas dalam kecelakaan kapal di laut pada saat ia pergi berlayar dengan membawa modal untuk berdagang yang diperolehnya dari hutang kepada beberapa orang termasuk seorang lintah darat yang kejam, sehingga keluarga Risda harus menanggung beban hutang yang amat berat. Risda sebagai anak tertua bekerja membantu seorang dokter praktek. Namun, pendapatan yang diperoleh Risda tidaklah mencukupi untuk membayar hutang almarhum ayahnya. Lintah darat itu lalu menawarkan suatu solusi dari masalah tersebut. Ia meminta Risda untuk menikah dengannya dan hal itu berarti hutang ayahnya akan dianggap lunas. Di tengah kegalauan hati Risda, majikannya yang seorang dokter melamarnya dan berjanji untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga Risda, terutama masalah finansial tersebut. Risda kemudian menerima lamaran dokter itu dan mereka akhirnya menikah dan tetap menetap di kota kelahirannya itu. Meskipun pernikahan Risda ini merupakan upaya menyelesaikan persoalan keluarga, namun Risda tetap berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi suaminya dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Di samping itu, Risda juga membangun wirausaha yang cukup maju di kota itu.
Pernikahan Risda membuat hati Rusdi hancur. Dia tak berdaya untuk menolong keluarga Risda karena pada saat itu dia sedang melanjutkan pendidikannya di kota lain. Akhirnya dia tetap melanjutkan kuliahnya sampai akhirnya dia menyunting seorang gadis yang mau menerima dia dan kejujurannya. Mereka akhirnya menetap dan bekerja sebagai dosen di Surabaya.
Pertemuan tak terencana antara mereka berdua di seminar itu membuat mereka akhirnya menghidupkan kembali api asmara yang telah mereka pendam di lubuk yang dalam. Mereka mengadakan pertemuan yang intim setiap kali seminar usai pada malam harinya. Sebenarnya mereka bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan sejak lama, namun kesetiaan pada pasangan masing-masing dan keikhlasan serta ketulusan menerima takdir bahwa mereka, meskipun saling menyintai sampai kapan pun, tetap tidak dapat saling memiliki dan menyatu dalam satu mahligai pernikahan.


III.       NILAI FILSAFAT NOVEL “LINGKARAN KABUT”

Berdasarkan sinopsis di atas, novel “Lingkaran Kabut” ini sarat akan nilai-nilai filsafat melalui pemikiran atau gagasan  filosofis tentang kehidupan yang ingin disampaikan pengarangnya. Hal ini dibuktikan bahwa di dalam novel ini terdapat banyak pemikiran filosofis pengarangnya, seperti yang terdapat pada beberapa kutipan berikut:
Ø  Dalam hidup ini tidak perlu dikejar bahagia atau derita. Karena semuanya ada di dalam diri. Apa yang ingin dimiliki, ia hanya dikembangkan dari dalam. Yang mana yang harus diredamkan, yang mana yang harus ditumbuhkan. Tergantung pilihan (hlm. 6).
Ø  Suami, anak, perusahaan, dan pendidikan. Lebih dari sebuah gedung yang tinggi. Kalau hidupmu diibaratkan emas, ia lebih dari kilau emas puncak Monas (hlm. 7).
Ø  Yang membebani adalah perasaan. Jika semuanya diperbuat dalam suka, maka buahnya hanyalah sukacita. Yang membebani hanyalah hati yang menolak memberi. Jika tangan memberi dengan hati yang rela, maka buahnya adalah hati yang menerima dalam sayang yang penuh cinta (hlm. 8).

Nilai-nilai filsafat yang tercermin di dalam novel tersebut meliputi:
A.   Pilihan dalam hidup
Dalam novel ini, pengarang ingin menyapaikan gagasan filosofisnya bahwa di dalam kehidupan ini terdapat banyak pilihan. Manusia dikaruniai oleh Tuhan akal dan kemampuan berfikir agar dapat menentukan pilihan yang tepat. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut ini:
Dalam hidup ini tidak perlu dikejar bahagia atau derita. Karena semuanya ada di dalam diri. Apa yang ingin dimiliki, ia hanya dikembangkan dari dalam. Yang mana yang harus diredamkan, yang mana yang harus ditumbuhkan. Tergantung pilihan… . Menjalani tanpa pilihan pun berarti suatu pilihan. Yang penting, risikonya harus diterima dengan sukarela (hlm. 6).

Nilai filsafat tentang pilihan-pilihan dalam hidup ini tercermin juga di dalam tokoh-tokoh utama novel ini, yaitu Risda dan Rusdi. Risda dihadapkan beberapa pilihan ketika ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang yang harus dibayar oleh keluarganya- apakah dia tetap menjadi kekasih Rusdi dan setia menunggunya hingga ia menyelesaikan kuliahnya di luar kota tetapi membiarkan keluarganya merasa takut dan terancam setiap kali para penagih hutang mendatangi rumah mereka, atau haruskah dia menikahi rentenir yang sudah memiliki istri namun hutang keluarganya telah lunas sehingga keluarganya menjadi aman dan tentram, atau ia harus menikahi dokter yang memiliki perbedaan usia yang cukup besar dan yang bersedia menanggung segala hutang ayahnya meskipun ia tidak menyintai dokter itu. Akhirnya Risda memilih pilihan terakhir untuk bersedia menikah dengan dokter yang selama ini dia bantu meskipun hatinya runtuh dan ini berarti dia akan kehilangan kekasihnya.
Rusdi juga dihadapkan pada pilihan-pilihan- apakah dia  akan meninggalkan kuliahnya lalu menikahi Risda padahal studi yang sedang dia perjuangkan nantinya dapat membahagiakan Risda sendiri kalau mereka menikah nantinya karena pendidikan tinggi lebih menjanjikan kekayaan dan kesejahteraan atau dia tetap melanjutkan studinya di luar kota meskipun hal ini berarti dia harus kehilangan Risda untuk dimiliki orang lain. Pilihan terakhir inilah yang kemudian harus dipilihnya setelah Risda memutuskan untuk menikahi dokter itu.

B.    Ketulusan dan keikhlasan menerima takdir
Nilai filsafat berikutnya adalah ketulusan dan keikhlasan untuk menerima takdir Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang mengaturnya, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia sebagai makhluk-Nya harus tulus dan ikhlas menerima apa yang telah direncanakan-Nya sehingga timbul kedamaian dan ketentraman hati karena hal itu adalah yang terbaik bagi makhluk-Nya sebagaimana yang terdapat pada kutipan berikut ini:
Nasib, peruntungan, rezeki, bahkan jodoh dan perkawinan adalah rencana Allah (hlm. 29)
Tak ada yang sempurna bagi manusia. Yang sempurna adalah hati yang berpada pada keadaan. Menerima yang lebih lebih atau kurang dalam jumlah yang cukup (hlm. 35).

Hal ini tercermin dari ketulusan dan keikhlasan Risda dan Rusdi untuk menerima takdir yang telah ditetapkan-Nya. Meskipun takdir itu kadang-kadang bertentangan dengan harapan mereka dan bahkan takdir itu membuat hati mereka terluka. Namun hal itu mungkin adalah jalan yang terbaik sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Semuanya memporakporandakan apa yang sedang kuanyam dalam hati dan pikiran. Nasib menulis lain dalam hidupku, dan takdir membawa segala yang harus kuterima dengan hati yang luka (hlm. 13)
Bukankah nasib dan peruntungan yang akhirnya berperan di dalam hidupku, sehingga aku harus menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan suamiku pun kutemukan karena nasib… Menerima sesuatu tanpa meminta adalah jalan terbaik yang mungkin di tempuh (hlm. 33-34).
Aku selalu melihat yang terbaik, Risda. Meskipun apa yang seharusnya tak terjadi. Meskipun ada lara dan sakit yang mula-mula menorah dada. Tetapi jika semuannya dipandang dalam wajah molek rupa, semuanya jadi begitu cantik (hlm. 43).


C.  Kesetiaan dan keteguhan pada suatu komitmen
Pemikiran filosofis lainnya yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah kesetiaan dan keteguhan memegang suatu komitmen. Menurut pengarang, setia adalah kemampuan memenangkan pertempuran terhadap diri sendiri. Kesetiaan adalah kejujuran yang jujur. Namun kesetiaan membutuhkan pengorbanan yang nantinya akan melahirkan kebahagiaan.
Hal ini tercermin juga dari kesetiaan Risda dan Rusdi pada cinta mereka berdua sekaligus keteguhan mereka pada suatu komitmen (baca: pernikahan) untuk pasangan mereka masing-masing. Meskipun hal ini berarti bahwa mereka harus menderita karenanya. Namun mereka sadar bahwa pengorbanan mereka nantinya kan menimbulkan kebahagiaan mereka dan orang-orang yang mereka cintai sebagaimana kutipan berikut:
Setia adalah kemampuan memenangkanpertempuran terhadap diri sendiri. Kesetiaan adalah kejujuran yang jujur. (hlm. 32)
Tidakkah semuanya lebih dari makna setiadan pemenangan dari derita hidupku dan keluargaku? (hlm. 33)

Di samping itu, kesetiaan dan keteguhan terhadap komitmen dicitrakan dari kedua tokoh tersebut ketika mereka bertemu kembali dan berkesempatan untuk berdua-duaan di kamar hotel dan dalam suasana yang sangat romantis namun mereka tidak sampai melakukan hal-hal di luar batas yang melanggar norma-norma agama dan susila karena mereka setia dan berpegang teguh pada komitmen yang telah mereka ikrarkan di hadapan Tuhan kepada pasangan mereka masing-masing, seperti yang dijelaskan dalam kutipan berikut ini:
Tidak! Aku kini tidak akan melakukannya.
Kau tetap kekasihku. Sampai kapan pun kau tetap kekasihku, Risda. Akan tetapi kau bukan istriku. Aku mencintaimu karena cinta. Akan tetapi nasib dan takdir memisahkan kita, hingga kita tak menjadi suami istri. Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu. Akan tetapi kembalilah kepada suami dan anak-anakmu. Seusai seminar aku akan kembali kepada istri dan anak-anakku (hlm. 74).

D.   Cinta sejati
Nilai filsafat berikutnya adalah cinta sejati. Menurut pemikiran pengarang, cinta sejati adalah cinta yang suci, luhur, dan bertanggung jawab serta merupakan nafas kehidupan. Tanpa cinta sejati hidup ini akan mati. Cinta suci karena tidak boleh dinodai oleh hal-hal yang nista seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Cinta yang dewasa bukan hanya bukan hanya perasaan yang bergelombang dan menerawang ke langit baru. Cinta juga tak hanya tanggung jawab pada harta dan tubuh. Cinta adalah keseluruhan keberadaan yang berpada dengan keadaan lelaki dan wanita yang menyatukan diri dalam persekutuan rumah tangga (hlm. 36).
Cinta sejati tak kan pernah menodai secara tidak sah. Tidak! Cinta sejati adalah napas yang terhirup dalam paru-paru tanggung jawab kehidupan (hlm. 74).

Cinta sejati ini tercermin dari cinta yang dimiliki oleh kedua tokoh utama cerpen ini, yaitu Risda dan Rusdi. Mereka saling memiliki cinta sejati. Cinta mereka lahir dari ketulusan dan kejujuran, dan mereka selalu menjaga kesucian cinta itu sendiri. Cinta itulah yang membuat mereka tetap hidup dan menjalankan kehidupan rumah tangga masing-masing dengan baik meskipun cinta ini tidak menyebabkan mereka saling mendampingi sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Emosi masa silammu dating tanpa kau sadari. Kita memang sudah saling memahamitapi kita tak mungkin menjadi saling mendampingi. Segala yang silam sudah silam. Segala yang silam tak mungkin kita gali lagi mayatnya di dalam kubur kesilaman. Kita masing-masing menyongsong masa depan yang lain, yang akan datang bukan kelampauan, Risda (hlm. 72).


IV.       NILAI PSIKOLOGIS NOVEL “LINGKARAN KABUT”

Selain filsafat, sastra dapat juga berhubungan dengan psikologi. Dalam karya sastra terdapat tokoh-tokoh yang dicitrakan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki berbagai macam kepentingan dan masalah. Karena adanya kepentingan dan masalah inilah mereka saling berinteraksi. Dari interaksi inilah pemcaca dapat menyimak watak masing-masing tokoh. Aapa yang dilakukan mereka, baik yang dipercakapkan maupun yang dipikirkan, merupakan refleksi jiwa masing-masing (Darma, 2004: 130).
Dalam menulis karya sastra, pengarang mungkin tidak menyadari bahwa melalui interaksi para tokoh di dalam karyanya sebetulnya dia menggambarkan masalah kejiwaan. Oleh karena itu, sastra dapat menjadi sumber penting bagi para psikiater dan psikolog untuk melahirkan teori psikologi mereka.Konflik-konflik kejiwaan yang bergejolak di dalam diri tokoh-tokoh utama novel “Lingkaran Kabut” ini merupakan nilai-nilai psikologis yang ingin diketengahkan oleh pengarangnya. Konflik psikologis tersebut merupakan menjadi ajang perang batin yang tak terkira sebagaimana yang terdapat pada petikan berikut ini:
Sebagai istri, dan sebagai ibu, aku harus menempatkan diriku sebagai pribadi yang kukuh, meskipun seringkali aku merasa hampir-hampir roboh. Seperti pohon yang terkena angin badai di dalam pusaran topan. Memang hatiku sering dibadai rusuh dan rasa keruh. Yang membuat kekuatanku kadang hilang dan terbang. Bagaikan daun dalam angin, bagai laying-layang yang tanpa kendali di awan yang tinggi. Serasa hidupku tanpa gantungan dan tali pengikat. Itu yang membuat aku betah pergi, meskipun kutahu tugasku yang berat sebagai ibu, istri, dan pimpinan perusahaan. Akan tetapi hatiku yang terpenjara ingin sesekali merdeka, menemukan, dan ditemukan rasa kasih yang penuh, dan rasa keduaan yang utuh (hlm. 26).

            Tokoh-tokoh utama novel ini memiliki masalah psikologis karena memiliki permasalahan yang dilematis (decisional crisis). Risda, misalnya, memiliki kekasih, Rusdi. Baginya, Rusdi adalah segala-galanya baginya. Namun takdir berkehendak lain. Masalah finansial yang melanda keluarganya membuat dia tidak dapat menikah dengan Rusdi karena Rusdi pada saai itu tidak bisa membantunya menyelesaikan masalah keluarganya tersebut. Dia terpaksa menerima lamaran atasannya yang seorang dokter senior yang usianya tak lagi muda namun dapat membayar hutang-hutang keluarganya. Pernikahannya adalah upanya membebaskan keluarganya dari lilitan hutang yang selama ini membelenggu keluarganya.
Dalam membina rumah tangganya, Risda berusaha menjadi istri sekaligus ibu yang baik bagi suami dan ketiga anaknya. Namun, suaminya bukanlah kekasihnya. Cintanya kepada suaminya bukanlah cinta seorang kekasih, tapi lebih cenderung merupakan pengabdian dan loyalitas kepada kesakralan suatu pernikahan. Cintanya tetap untuk Rusdi. Perasaan ini dipendamnya di lubuk hatinya yang paling dalam selama lima belas tahun sebelum akhirnya dia bertemu dengan Rusdi di seminar itu. Berikut ini adalah kutipannya:
Betapa aku menjadi sangat terikat, rasanya tubuhku dibebat oleh tali-tali rumah tangga yang membuat gerakku sangat terbatas. Kakiku yang melangkah seperti tidak melangkah. Tanganku yang menggapai serasa tak pernah sampai. Seperti aku berenang dalam lautan tak bertepi, dilimbur ombak dan gelombang pasang, aku serasa dalam kawah yang menganga. Hanya hujan dan terik yang menimpa. Selebihnya adalah hatiku yang tergeletak di depan pintu (hlm. 8).

Rusdi yang mengalami patah hati setelah mengetahui bahwa kekasihnya, Risda, akhirnya menikah dengan dokter tersebut, tetap melanjutkan kuliahnya. Menurutnya, membangun masa depan yang terbaik adalah dengan dengan pendidikan. Harta dapat habis, akan tetapi ilmu yang ada di kepala tidak akan pernah dimakan api atau ditelan banjir banding. Dan baginya pendidikan lebih penting daripada larut di dalam kesedihan dan kehancuran, sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:
Kesilaman bukan hanya mimpi, kesilaman adalah kenyataan yang harus kita bina pada yang terbaik dalam hidup yang baik (hlm. 27).

Lalu dia berjumpa dengan seorang wanita yang dapat memerimanya apa adanya termasuk kisah masa silam dirinya dengan Risda. Lalu mereka menikah dan memiliki tiga orang anak. Ketulusan hati wanita itu untuk menerima kejujuran Rusdi inilah yang membuat Rusdi begitu menyayangi istri dan anak-anaknya, sebagaimana yang terdapat di dalam kutipan berikut ini:
Cinta yang dewasa bukan hanya perasaan yang bergelombang dan menerawang ke langit biru. Cinta juga tak hanya tanggung jawab pada harta dan tubuh. Cinta adalah keseluruhan keberadaan yang berpada dengan keadaan lelaki dan wanita yang menyatukan diri dalam persekutuan rumah tangga (hlm. 36)
Yang dicari adalah bahagia di dalam rumah tangga, Risda. Ya, bukan? Karena apalah artinya kita tersenyum di sana, tertawa di anu, sementara rumah tangga berantakan? Sementara anak-anak bagaikan biji sesawi yang diterbangkan angina terserak ke segala arah dan tumbuh di lading-ladang yang mandul (hlm. 56)

Sehingga, ketika terbuka kesempatan dirinya untuk memadu kasih kembali dengan Risda, Rusdi tidak gegabah untuk melakukan perbuatan yang nista dan mengkhianati istri dan keluarganya demi cinta yang hanya ada dalam impiannya. Ia melakukan apa yang harus dia lakukan. Menurutnya akar harmonisasi adalah keterbukaan dan kesetiaan.
Berbeda dengan Rusdi, Risda belum menyadari hal ini. Sehingga ketika pertemuan tanpa rencana yang merupakan ajang reuni bagi mereka berdua, Risda masih sangat mengharapkan Rusdi mengulangi romantisme mereka seperti yang pernah mereka alami lima belas tahun yang lalu. Risda baru menyadarinya ketika pada akhirnya dia mengetahui bahwa istri Rusdi lumpuh. Kebaikan hati dan rasa kemanusiaan yang tinggilah yang juga kemudian membuat Risda tidak mau mengkhianati ketulusan dan kesetiaan istri Rusdi.
Akhirnya Risda dan Rusdi sama-sama menyadari eksistensi masing-masing dan inilah penyelesaian akhir dari konflik psikologis yang melanda kedua tokoh utama novel ini sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
Kurasakan dadaku tak lagi menyenak seperti tadi. Lega! Lega sekali! … namun kini aku merasakan ada sesuatu yang aneh karena dadaku terasa begitu segar. Jika itu kesegaran, mungkin kesegaran itu adalah kesegaran rimba perawan di lekuk ujung dunia. Jika kesegaran itu adalah kebajikan, mungkin kebajikan itu adalah sesuatu yang paling mulia. Jika kesegaran itu adalah cinta, mungkin itulah cinta sejati seorang kekasih sejati (hlm. 209).

V.         PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Ø  Novel “Lingkaran Kabut” karya Korrie Layun Rampan memiliki nilai-nilai fisafat, yaitu hidup adalah memang untuk mencari kebenaran. Dalam kehidupan kita banyak terdapat pilihan. Kadang-kadang, kita dapat memilihnya sendiri atau takdirlah yang memilihnya untuk kita. Kalau takdir memilihkannya untuk kita, kita harus menerima dengan lapang dada dan ihklas, Karena barangkali inilah yang memang terbaik untuk kita. Dan inilah nantinya yang akan membawa ketentraman hati kita. Oleh karena itu, kita harus tetap setia dan  berpegang teguh terhadap komitmen yang telah kita tetapkan apa pun yang terjadi.
Ø  Novel “Lingkaran Kabut” karya Korrie Layun Rampan memiliki nilai-nilai psikologis yang salah satunya tercermin melalui perilaku dan motivasi tokoh-tokoh utamanya.  Konflik kejiwaan yang membelenggu kedua tokoh tersebut mewarnai perilaku dan motivasi mereka. Pada akhirnya mereka berdua menyadari jati diri masing-masing dan inilah merupakan solusi dari konflik tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2005. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo.

Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra,dan Budi Darma. Surabaya: Jawa Pos Group.

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Luxemburg, Jan van, dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Luxemburg, Jan van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Perrine, Laurence. 1988. Literature: Structure, Sound, and Sense: Fifth Edition. Orlando, Florida: Harcourt Jovanovich Publishers.

Rampan, Korrie Layun. 2003. Lingkaran Kabut. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sumarjo, Jacob dan Saini, K.M. 1991. Apresiasi Kesusatraan.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2005. Teori Kesusasteraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Giri Mukti.

No comments:

Post a Comment