I.
PENDAHULUAN
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam bentuk gambaran
konkrit yang menbangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo, 1988: 3).
Sastra tidak hanya dinilai sebagai sebagai sebuah
karya yang memiliki pengetahuan tentang budi pekerti yang dimanfaatkan sebagai
konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Aminuddin (2005: 37):
Sastra
merupakan karya cipta yang merupakan bagian dari seni dan berusaha menampilkan
nilai-nilai keindahan yang bersifat actual dan imajinatif sehingga mampu
memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembaca.
Prosa fiksi sebagai salah satu genre karya sastra merupakan kisaran atau cerita yang diemban oleh
latar, tahapan dan rangkaian cerita tetentu yang bertolak dari hasil imajinasi
pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2005: 6). Prosa fiksi
adalah karya imajiner yang bersifat estetis dan berguna (Nurgiyantoro, 1995: 4)
Cerita pendek (cerpen) sebagaimana prosa fiksi
lainnya menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya
dengan lingkungan sosial, diri sendiri, dan Tuhan. Di samping itu, hal tersebut
merupakan hasil dialog, kontempelasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan
dan kehidupan. Meskipun berupa khayalan atau imajinasi pengarang, tidak benar
jika prosa fiksi ini dianggap sebagai hasil lamunan belaka, namun merupakan
hasil dari penghayatan dan perenungan secara intensif terhadap hakekat hidup
dan kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kreatifitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro,
1995: 5).
Cerpen sebagai prosa fiksi juga memiliki nilai guna
karena bertujuan memberikan hiburan dan kepuasan batin serta manfaat bagi
pembacanya. Melalui sarana cerita itu, pembaca secara tidak langsung dapat
belajar merasakan dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja
ditawarkan pengarang sehingga prosa fiksi dapat membuat pembacanya menjadi
manusia yang lebih arif dan dapat memanusiakan manusia (Nurgiyantoro, 1995:
40).
Cerpen sebagaimana karya sastra yang lain dapat
dibaca, dinikmati, dan diapresiasi. Telaahnya meliputi “kekhasan sastra” dan
“sistematis” (Welleck dan Warren, 1995: 4). Dalam hal kekhasan karya sastra,
telaahnya bertujuan menguraikan ciri-ciri khas karya sastra, misalnya “fiksionalitas”, “ciptaan”, dan
“imajinasi” (Weeleck dan Warren, 1995: 20).
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini bertujuan
untuk menguraikan analisa karya sastra pada kumpulan cerpen buah karya Tamara
Geraldine, seorang presenter yang sekarang menjadi wanita pengarang, yang
berjudul “Kamu Sadar, Saya punya Alasan untuk Selingkuh, ‘kan Sayang” (2005).
Kriteria yang dipakai adalah segi estetis yang meliputi:
·
“kesatuan dalam keragaman” (unity in variety),
·
“kontemplasi objektif” (disinterested contemplation),
·
“distansi
estetis” (aesthetic distance),
·
“penciptaan kerangka seni” (framing),
·
“ciptaan” (invention),
·
“imajinasi”, dan
·
“kreasi”
(Wellek dan Warren, 1995: 22).
Analisa kumpulan cerpen juga ditujukan
untuk mengetahui apakah di dalam kumpulan ini terdapat:
·
Nilai kognitif
·
Dulce et utile yang dikemukakan oleh Horace (Darma,
2004: 20)
II.
ANALISA KUMPULAN CERPEN
“KAMU SADAR, SAYA PUNYA ALASAN UNTUK SELINGKUH, ‘KAN SAYANG?”
Masalah pertama yang
harus kita pecahkan menyangkut pokok bahasan studi sastra adalah “Apakah sastra
itu dan bagaimana sifat-sifatnya?” (Wellek dan Warren, 1995: 11). Di samping
itu adalah “Pengakuan suatu karya seseorang sebagai “sastra” didasarkan apa?
Kenapa seorang pembaca, kritikus, atau penerbit menganggap suatu teks sebagai
sastra?” (Luxemburg, dkk. 1991: 5).
Salah satu
kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah suatu karya sastra itu
“mahakarya” atau bukan adalah segi estetis. Kriteria yang lain dapat berupa
reputasinya atau kecermerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis atas gaya
bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian yang tercermin dalam berbagai
ujaran (Wellek dan Warren, 1995: 22).
Pada berbagai periode
sejarah, ruang lingkup fungsi estetis dapat berubah, baik menyempit maupun
meluas. Namun demikian, pengertian
sastra sebaiknya kita batasi pada karya yang dominan fungsi estetisnya (Wellek
dan Warren, 1995: 18).
Sesuai dengan tujuan penulisan makalah ini, pada sub-bab ini
akan diuraikan hasil telaah kumpulan cerpen karya Tamara Geraldine dari segi
estetis yang meliputi:
·
“kesatuan dalam keragaman” (unity in variety),
·
“kontemplasi objektif” (disinterested contemplation),
·
“distansi
estetis” (aesthetic distance),
·
“penciptaan kerangka seni” (framing),
·
“ciptaan” (invention),
·
“imajinasi”,
·
“kreasi” ,
serta:
·
Nilai kognitif
·
Dulce
et Utile.
Dan kumpulan cerpen tersebut terdiri dari 12 cerita pendek dengan
judul-judul sebagai berikut:
·
Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkuh, ‘kan Sayang!
·
(Punggung) Caska dan Berto
·
Bahasa yang Dimengerti Hati
·
Maaf, Kita harus Kenalan dengan Cara Seperti ini
·
Ibuku Tak Mau Tahu (Segala yang Ingin Aku Warisi)
·
Nobody Knows…
·
Pengantar Bunga yang tertahan Pemeriksaan
·
U Turn
·
Toilet Shower, Good Idea
·
Perempuan yang Berteman Hantu
·
Mengajari Tuhan
·
Sehari Suntuk Bersama Christiano Ronaldo
Berikut ini adalah hasil kajian yang lebih lengkap
analisa kumpulan cerpen tersebut:
A. Segi “Kesatuan dalam Keragaman” (Unity in Variety)
Karya sastra bukanlah merupakan objek yang
sederhana tetapi merupakan objek yang kompleks dan rumit, bahkan ada yang
menyamakan karya sastra seperti “organism”. Dalam hal ini yang ditekankan hanya
satu aspek saja, yaitu“kesatuan dalam keragaman” (unity in variety) (Wellek dan Warren, 1995: 22).
Aspek ini menekankan kaitan erat unsur-unsur karya
sastra, yang mana unsur-unsur tersebut, baik isi atau bentuknya, sama
manfaatnya, sehingga dapat melihat karya sastra sebagai sesuatu yang totalitas
(Wellek dan Warren, 1995: 22).
Luxemburg (1989: 5) mengatakan
karya sastra “otonom” bercirikan suatu “koherensi”. Pengertian koherensi dapat
ditafsirkan sebagai keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi
berkaitan dengan sesuatu bentuk atau ungkapan tertentu. Karena bentuk dan isi
saling berhubungan, bagian dan kesuluruhan saling terkait dengan erat maka akan
saling menerangkan. Suatu kesatuian struktural mencakup setiap bagian dan
sebaliknya bahwa setiap bagian menunjukkan kepada kesuluruhan ini dan bukan
yang lain (Luxemburg, 1989: 38).
Dari segi “kesatuan dalam
keragaman”, kumpulan cerpen ini memiliki suatu bangun teks berupa suatu tema
sentral yang sama dari seluruh cerpen itu. Tema tersebut adalah
perselingkuhan. Masing-masing cerpen tersebut secara umum bertemakan
perselingkuhan, hanya saja penekanan tema itu bermacam-macam, yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan perselingkuhan, misalnya alasan-alasan atau
motif-motif, proses awal, dampak, tuntutan status atau legalitas, kemunafikan,
dan aspek religius dari perselingkuhan.
Sekilas
nampak bahwa antara cerpen yang satu dengan yang lainnya tidak berhubungan
secara langsung dan gamblang, kecuali cerpen kedua, “(Punggung) Caska dan Berto” yang kisahnya berlanjut dalam cerpen
keempat, yakni “Maaf, Kita Harus Kenalan
Seperti Ini”.
Namun, apabila kita teliti lebih lanjut, kita akan
menemukan bahwa sebenarnya kedua belas cerpen tersebut saling berhubungan
meskipun secara implisit. Cerpen pertama yang merupakan
judul dari kumpulan cerpen ini sebenarnya bertemakan alasan-alasan
perselingkuhan. Dilanjutkan dengan cerpen kedua, “(Punggung) Caska dan Berto”, yang melukiskan bagaimana
perselingkuhan yang melanda masing-masing pasangan yang masih berada dalam satu
payung pernikahan. Kisah dalam cerpen
ini akan dilanjutkan pada cerpen keempat, yang memiliki latar kehidupan sesudah
mati yang juga berarti bahwa perselingkuhan itu akan dituntut
pertanggungjawabannya di alam akhirat seperti yang tertulis dalam petikan
sebuah puisi sebelum cerita pendek ini:
… Suatu
hari …suatu saat…
Akan kembali ada di
tempat dimana manusia saling menyapa
Suatu hari … suatu
saat…
Ada masa dimana manusia saling bertanya
Suatu hari… Manusia
berhutang
Suatu saat… Harga terbayar lunas. (hlm. 47)
Sedangkan cerpen ketiga, “Bahasa yang Dimengerti Hati”, melukiskan suatu ketidaksinkronan
antara bahasa mulut (baca: lisan) dan bahasa hati, sebagaimana beberapa kutipan
berikut ini:
“Sebenarnya umur kamu berapa, sih?” (lisan)
(ARE YOU STILL A VIRGIN?) (hati) (hlm. 36)
”Iya. Abis ini ngapain ya enaknya?” (lisan)
(PLEEEASEEE… JANGAN NGOBROL TERUS KALI AH!) (hati)
(hlm. 38)
Hal
ini menunjukkan bahwa perselingkuhan akan melahirkan kemunafikan. Seseorang
yang melakukan perselingkuhan biasanya berusaha menutupinya sehingga dia akan
melakukan kebohongan-kebohongan yang merupakan salah satu ciri kemunafikan.
Sedangkan cerpen kelima yang berjudul “Ibuku Tak Mau Tahu (Segala Yang Tak Ia Ingin
Aku Warisi)” menceritakan bahwa salah satu penyebab perselingkuhan dan
perbuatan-perbuatan maksiat lainnya adalah ketidakpedulian seorang ibu terhadap
kelakuan anaknya, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
Lima belas tahun setelah keluar dari rahim Ibu, aku
mencoba-coba merokok …Anakku hidup dengan sebagian pikiran lainnya bahwa ibunya
sebenarnya mendengar, hanya saja aku, ibunya, tak mau tahu. (hlm.67-70)
Cerpen
berikutnya, “Nobody Knows…”, masih berkisar
tentang hubungan perselingkuhan yang mana perempuan yang berselingkuh itu menutut status atau
legalitas dari pasangan selingkuhnya. Cerpen ini menceritakan tentang
perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami dengan seorang perempuan
lajang yang kemudian menuntut laki-laki itu agar menikahinya secara sah agar
dia memiliki status yang lebih jelas terutama bagi janin yang sedang
dikandungnya, namun laki-laki itu menolaknya karena dia tidak tega dan tidak mampu untuk menceraikan istrinya.
Perempuan tersebut lalu memilih berpisah dengan laki-laki itu dan menggugurkan
kandungannya. Lalu dia berhubungan dengan
laki-laki lainnya sebagai suatu pelarian dari rasa sakit hatinya. Lelaki itu
serius dan mengajaknya menikah tapi ditolaknya karena dia sudah tidak percaya
lagi akan kesakralan suatu pernikahan.
Begitu juga halnya dengan cerpen ketujuh, ”Pengantar Bunga yang Tertahan Pemeriksaan”, yang
mencerminkan keputusasaan seorang perempuan yang telah menikah tapi
berselingkuh, karena ketidakcocokan dengan suaminya, dengan seorang laki-laki
yang masih terikat dengan suatu perkawinan yang sah, seperti dirinya.
Keputusasaan ini yang pada akhirnya mendorongnya untuk bunuh diri dengan cara
menembak kepalanya, beberapa saat setelah dia roboh, datanglah seorang pengirim
bunga yang membawa rangkaian bunga untuk perempuan itu dan kartu ucapannya
merupakan ajakan untuk menikah dari laki-laki yang berselingkuh dengannya, tapi
semuanya terlambat!
Kalau dalam cerpen sebelumnya, tokoh perempuannya
mengakhiri hidupnya dengan cara menembak kepalanya, cerpen berikutnya, yaitu “U Turn”, anak dari perempuan yang
berselingkuh dan sedang dalam proses perceraian dengan suaminyalah yang tewas
akibat bunuh diri dengan cara mengiris urat nadinya.
Sedangkan cerpen berikutnya, “Toilet Shower, Good Idea!, mengisahkan seorang berempuan yang baru
saja bercerai dari suaminya dan tidak memiliki anak. Akibat perceraian itu, dia
suka mabuk-mabukan dan memuaskan hasrat seksualnya dengan caranya yang tidak
wajar di dalam toilet untuk mengusir kesepiannya.
Cerpen kesembilan, “Perempuan
yang Berteman dengan Hantu” juga berkisah tentang seorang perempuan yang
baru saja bercerai dengan suaminya. Mereka memiliki tiga orang anak. Dua orang
diantaranya meninggal dunia karena sakit. Suaminya menikah lagi dengan seorang
perempuan yang dijumpainya di sebuah bar ketika lelaki itu mabuk berat. Anak
satu-satunya sekarang tinggal bersama ayahnya dan menetap di luar negeri.
Perempuan itu tinggal bersama pembantunya dan sering merasa kesepian, tapi pembantunya
tidak kerasan tinggal dirumah itu. Katanya, rumah itu penuh dengan hantu!
Ibunya lalu memanggil “orang pintar” untuk mengusir hantu-hantu tersebut dari
rumahnya, namun dia justru mengusir orang-orang itu karena dia merasa selama
ini hantu-hantu itulah yang menjadi teman setianya.
Cerpen yang kesebelas, “Mengajari Tuhan”, seperti beberapa cerpen sebelumnya, menampilkan
unsur religi. Cerpen ini menceritakan seorang perempuan yang sedang mencari
Tuhan. Setelah mereka bertemu, muncullah gambaran-gambaran perselingkuhan baik
yang telah ia lakukan maupun yang telah dilakukan suaminya, termasuk penyiksaan
yang ia lakukan kepada anaknya akibat ketidakharmonisan rumah tangganya.
Cerpen terakhir, “Sehari
Suntuk bersama Christiano Ronaldo”, menceritakan seorang perempuan yang
berprofesi sebagai jurnalis yang menemani dan mewawancarai pesepakbola tampan
dan tersohor, Christiano Ronaldo, dan sekaligus juga idolanya. Kaitannya dengan
perselingkuhan yang menjadi tema sentral dari keseluruhan cerpen ini adalah bahwa
moment seperti inilah yang dapat
menjadi awal suatu perselingkuhan.
Selain kesatuan tema, “kesatuan dalam keragaman” yang
tercermin di dalam kumpulan cerpen ini adalah penokohannya. Semua tokoh utama
yang ditampilkan di dalam masing-masing cerita adalah perempuan. Meskipun tokoh
perempuan yang digambarkan di dalam tiap-tiap cerita memiliki beberapa
perbedaan, namun mereka memiliki banyak kesamaan, yakni seorang perempuan yang
memiliki kebebasan dan mengupayakan kebebasannya itu dari dominasi atau hegemoni
dan kekuasaan laki-laki, serta keterikatan pada kodrat-kodrat yang telah
ditetapkan oleh alam kehidupan.
Tokoh perempuan yang
dicitrakan di dalam masing-masing cerpen dengan berbagai macam sifat-sifat
psikologis mengacu pada suato sosok perempuan yang penuh inisiatif, tidak nrimo, tidak manut, bahkan sering melawan. Tokoh perempuan yang mandiri dan otonom (independent woman) bahkan cenderung merusak diri sendiri (self-destructive) (Lie, 2005: 67, 69).
Sedangkan tokoh laki-laki
dalam tiap-tiap cerita adalah laki-laki yang mencari “ketenangan hidup” dengan
memperlakukan perempuan sebagai objek belaka dan tidak melihat perempuan
sebagai subjek yang sama seperti dirinya. Semuanya ini menyebabkan awal suatu
konflik di antara mereka dan mereka tidak saling mengakui satu sama lain atau
tidak memiliki reciprocal recognition (Lie,
2005: 46 sebagaimana kutipan sebuah puisi singkat yang ditulis sebelum semua
cerpen di atas:
Izinkan aku bebas
dari genggamanmu
Tiga kali selusin purnama kita jalan
sendiri-sendiri
Menancapkan belati majal
Meremukkan cawan cinta
Lupakan bahagia, lelap aku setubuhi
sepi
Kutemu bilik kecil tempat menisik
payet dosa
Keinginan sederhana:
dicintai dan diterima apa
adaku. (hlm.
Xxi)
Di samping itu, “kesatuan dalam keragaman” dalam
cerpen Tamara dalam kumpulan ini, hampir semuanya dapat dikategorikan sebagai
kontramitos atau pemberontakan terhadap “tradisi yang berpura-pura sopan”,
(Lie, 2005) seperti pada kutipan berikut ini:
Sayang
sekali, orang secantik dia harus mati sehancur ini. Sepertinya akan ada selalu
pengertian bahwa si cantik selalu dapat bagian yang enak. Makhluk-makhluk
cantik adalah produk yang layak diletakkan di barisan depan, di meja yang
paling baik, dan ditempatkan di tengah-tengah agar semua bisa melihat dan
menikmatinya. Buktinya pernah ada berita di Koran besar tentang
terbunuhnya seorang peragawati nasional. Ia dipotong-potong dan dimasukkan ke
dalam karung. Beritanya jadi besar karena ia cantik. Di Ciamis, tepatnya di
pinggir Kali Nyenggre, kasus yang sama terjadi. Seorang perempuan penjual
pukulan lalat mati terpotong-potong dan dimasukkan dakam karung beras
Cianjurtanpa bahkan pernah masuk Koran propins. Kenapa?Karena lagi-lagi nenek itu tidak cantik. Di
dunia kosmetik ini, perempuan harus cantik untuk bisa menyatakan diri, baik
sesame hidup maupun ketika mati (Hlm. 52)
“Kesatuan
dalam keragaman” lainnya yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini adalah dalam
hal penggunaan bahasa. Ragam bahasa yang digunakan di dalam kumpulan cerpen ini
adalah bahasa yang bahasa santai, informal, dan bukan bahasa sastra yang
estetis.
Dengan
demikian, kumpulan cerpen ini memiliki “kesatuan dalam keragaman” dalam
hal hubungan tema, penokohan (baca:
tokoh utama), pesan, dan penggunaan
bahasa.
B. Segi “Kontemplasi Objektif” (Disinterested Contemplation)
Yang dimaksud dengan “kontemplasi objektif” adalah
pengisahan yang dilakukan pengarang yang merupakan hasil dari perenungan yang
objektif, netral, dan tidak memiliki tujuan atau tendensi tertentu.
Kumpulan cerpen ini memiliki “distansi estetis”
karena pengarang bersikap netral, objektif,
dan tidak menonjolkan atau melecehkan suatu komunitas atau etnis
tertentu dan bukan merupakan apa yang disebut sebagai “local color” (warna lokal). Meskipun pengarang cerpen dalam kumpulan
ini yang bernama lengkap Tamara Geraldine Tambunan, berdarah Batak dan Belanda,
serta bersuamikan orang Vietnam, namun dalam karyanya dia menampilkan hal-hal
umum dan universal sebagaimana kutipan
berikut:
Rupanya aku terlalu
meremehkan sekaligus terlalu hebat menilai diriku. Tapi apa yang salah dari
kalimatku itu? Tidak ada. Manusia yang lahir dibuaian uang, bernafas dengan
udara harta akan selalu terbiasa melihat dirinya super dan otomatis melihat
sekelilingnya kuper. (hlm. 183-184)
Kumpulan cerpen ini menggambarkan bahwa pengarang
mengisahkan cerpen-cerpennya secara obyektif dan netral. Pengarang tersebut
tanpa tedeng aling-aling dan begitu
berterus terang menceritakan tentang seluk-beluk perselingkuhan, sebagaimana
kutipan berikut ini:
Aku tidak menegeluh
berkali-kali aku jatuh tanpa ada yang peduli.Aku tidak pernah mau menghitungdan
menimbang walaupun aku tahu teman-teman di dekatku jumlahnya lebih banyak yang
jahat daripada yang baik. Aku terima hidup yang tak lebih baik dari tempat
sampah karena aku tahu suatu saat semuanya akan Kau ijinkan berubah sejak empat
hari kemarin. Berto memilihku. Berto meninggalkan istrinya untukku. Aku bukan
lagi si nomor dua! (hlm. 63)
C. Segi “Distansi Estetis” (Aesthetic Distance)
“Distansi estetis” (Aesthetic distance) adalah suatu “jarak” yang harus dijaga
pengarang dalam penciptaan karya sastra. Dalam menciptakan suatu karya sastra
seorang pengarang harus menjaga “jarak” antara dirinya dengan karyanya sendiri,
sehingga dia menjadi netral dan tidak memihak apa pun dan siapa pun karena ia
“orang Lain” (Luxemburg, 1991: 17), sehingga tidak setiap karya yang
menampilkan “Aku” dengan begitu saja dianggap sebagai pengakuan pribadi seorang
penyair (Luxemburg, 1989: 10).
Dalam kumpulan cerpennya, Tamara Geraldine menunjukkan
pemenuhan unsur distansi estetis karena tokoh-tokoh yang dicitrakan bukanlan
penulis sendiri. Meskipun banyak menggunakan “Aku” namun si penulis tetap
memposisikan diri sebagai pencerita.
Di samping itu, bahasa yang dipakai dalam
mengisahkan kondisi-kondisi yang menyedihkan dan menyakitkan dalam suatu
perselingkuhan menunjukkan adanya kontrol emosi dari si penulis sehingga nilai
keindahan dalam kumpulan cerpen ini masih tetap terasa.
D. Segi “Penciptaan Kerangka Seni” (Framing)
Dari segi “penciptaan kerangka seni” (framing), kumpulan cerpen ini memiliki framing yang baik dan cukup luas. Perselingkuhan yang menjadi tema utama kumpulan ini
digambarkan kerangka fiksionalnya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari
penyampaian tentang perselingkuhan dan seluk-beluknya yang tepat sesuai dengan
kenyataan.
Di samping itu, framing dari kumpulan ini cukup pas. Ide
cerita dalam masing-masing cerpen dimanifestasikan secara pas oleh penulis,
kecuali pada cerpen “Bahasa yang
Dimengerti Hati” karena cerpen ini hanya mengetengahkan suatu konflik,
tanpa perkembangan konflik tersebut sampai klimaks dan resolusi dari konflik
tersebut, dan pada cerpen “Sehari Suntuk
Bersama Christiano Ronaldo” karena cerpen ini hanya menceritakan suatu moment secara hambar tanpa konflik dan
perkembangan dari konflik itu sendiri.
E. Segi “Ciptaan” (Invention)
Menurut Luxemburg (1989: 17) sastra merupakan
sebuah ciptaan atau suatu kreasi dan pedoman untuk menilai kreasi adalah
kreatifitas dan spontanitas.
Dilihat dari segi ciptaan (invention), misalnya dalam penokohan, Tamara Geraldine berhasil
menciptakan tokoh-tokohnya yang fiksional meskipun pembaca tidak mengetahui
secara pasti penampilan fisik (physical
appearance) dari tokoh-tokoh tersebut karena dia memang tidak
menggambarkannya, dan dari tokoh-tokoh tersebut kita mendapat gambaran umum
mengenai manusia, sifatnya, tingkah lakunya dan pendapatnya. Di samping itu,
kumpulan ini menggambarkan hubungan yang terduga dari tokoh-tokoh tersebut, dan
memiliki originalitas dalam bentuk dan isi.
F. Segi “Imajinasi”
Menurut Luxemburg (1984: 3), karena merupakan karya
seni, karya sasta merupakan hasil kreatifitas pengarang dengan menggunakan
bahasa sebagai medianya dan memiliki tujuan estetis untuk menyampaikannya.
Semua karya tercipta melalui imajinasi, sehingga karya sastra dianggap sebagai
karya kreatif pengarang karena pengarang dapat mengungkapkan segala yang
bergejolak dalam jiwanya baik tentang konsep, ide, perasaan dan pikiran serta
imajinasinya.
Dilihat dari “imajinasi” kumpulan cerpen ini
memiliki imaginasi yang cukup baik karena menggambarkan atau melukiskan apa
yang terjadi di dunia nyata dan bagaimana keadaannya secara imajinatif,
termasuk hal-hal metafisika saja, sebagaimana kutipan berikut ini:
“Tuhan, apakah Kamu
sudah datang?” aku menguang teriakan yang tentu bukan sekedar demi mengacaukan
sunyi. Malam ini memangsepi seperti malamku kemarin,
kemarin, dan kemarinnya lagi. Tapi malam ini aku tidak ingin kesepian. Mungkin karena ada banyak
cahaya, banyak urusan, dan yang lebih penting karena malam ini aku janjian
dengan Tuhan.” (hlm. 184)
G. Segi “Kreasi”
Menurut Luxemburg (1984: 3), karena merupakan karya
seni, karya sasta merupakan hasil kreatifitas pengarang dengan menggunakan
bahasa sebagai medianya dan memiliki tujuan estetis untuk menyampaikannya.
Dilihat dari segi “kreasi”, kumpulan cerpen ini
merupakan proses pelukisan yang kreatif dan unik, seperti pada alur cerita dan
penggunaan bahasanya.
Dalam hal alur cerita, kumpulan ini memiliki
keunikan, yakni ketika suatu cerita selesai, sebenarnya cerita lainnya sedang
dimulai. Penggunaan bahasanya juga unik, khas Tamara, yakni, lucu, pedas,
blak-blakan, spontan, orisinal, dan sekaligus cerdas, seperti petikan beikut
ini:
Pasti itu bukan gambarku. Aku
tidak pernah ingat kapan Ibu memangkuku. Aku juga tidak pernah ingat kapan Ibu
memandangku dengan tatapan selembut itu. Tapi aku ingat waktu Ibu mengejarku
dengan sapu. Aku juga tak pernah lupa waktu Ibu mengunciku di kamar babu. (hlm. 185)
H. Segi “Nilai Kognitif”
Dalam bahasa Indonesia, asal
usul kata sastra adalah susastra yang berarti sastra yang indah. Implikasi sastra dalam susatra adalah ajaran moral, dank arena itu titik berat sastra adalah ajaran moralnya (Darma, 2004:
20).
Ajaran moral sebagai nilai
kognitif karya sastra mengandung nilai-nilai luhur yang dapat mendukung
terciptanya kepribadian yang berjiwa teladan dan perkembangan kualitas sumber
daya insani serta serta penghargaan terhadap hakekat kehidupan.
Menurut Soedjatmoko (1979:
173) dalam hakekat kehidupan mencakup nilai moral: kematian, cinta, kesetiaan,
tragedy, kekuasaan, tujuan hidup, dan religiusitas. Dari segi nilai kognitif
atau moral, kumpulan cerpen ini memiliki nilai-nilai tersebut, meskipun
kumpulan ini dipresentasikan secara blak-blakan sehingga terkesan “tidak
bermoral”.
Jika kumpulan ini direnungkan
secara mendalam ada beberapa nilai moral atau kognitif yang dimilikinya.
Misalnya, beberapa cerpen secara tersirat mengungkapkan bahwa menjaga keutuhan
cinta (baca: pernikahan) membutuhkan keteguhan hati, ketaatan, kepatuhan, dan kesetiaan
serta lebih mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi atau
kebebasan berkehendak, serta rasa tanggung jawab. Beberapa cerpen yang
mengandung hal-hal yang bersifat metafisika mengingatkan pembacanya akan
kematian yang mengakibatkan pelepasan/perpisahan dan putusnya relasi dengan
orang-orang tercinta dan segala macam dimensi kebanggaan, serta merupakan awal
hidup baru.
Beberapa cerpen kumpulan ini
juga mengajarkan bahwa cinta menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Di
samping itu, beberapa cerpen juga menggambarkan suatu tragedi dan penderitaan,
baik karena alasan fisik (baca: materi) maupun alasan moral).
I.
Segi
“Dulce et Utile”
Karya sastra menurut Horace dalam Teeuw (1998:8)
bersifat “Dulce et Utile” yang
berarti menyenangkan dan bermanfaat. Dalam karya sastra yang baik, pembaca akan
mendapatkan kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra yang
berupa keindahan dan pengalaman-pengalaman yang bernilai tinggi baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Menurut Darma (2004: 9-10), Horace menganggap,
karya seni yang baik, termasuk sastra, selalu memenuhi dua butir criteria,
yaitu dulce et utile, artinya sastra
harus bagus, menarik, memberi kenikmatan. Di samping itu sastra harus memberi
manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan, dan moral.
Melalui cerpen-cerpen dalam kumpulan ini terutama
dalam pengungkapan fakta, pikiran, pendapat, dan perasaan dalam menyikapi fakta
tersebut, pembaca dapat merasakan bahwa cerita-ceritanya dikemas secara unik
tapi menarik dan memberi kenikmatan dan
hiburan. Meskipun kumpulan ini secara gamblang dan lugas menceritakan hal-hal
yang tabu, yang tersembunyi, dan selama ini sering ditutup-tutupi baca:
bagian-bagian tubuh yang sensitif) namun secara umum kumpulan ini bersifat entertaining (menghibur) bagi pembacanya
karena kadang kadang hal-hal yang tabu tersebut disajikan dengan kepolosan dan
kelucuan, sebagaimana kutipan berikut ini:
Di tahun kedua
pernikahan saya baru sadar bahwa tanki romantisme saya ternyata jauh lebih
besar dari tanki seks saya. Ya ibarat mobil saya ini Land Cruiser yang memiliki
dua tanki. (hlm. 10)
Nilai kegunaan dari karya sastra merupakan salah
satu kriteria karya yang baik karena melaui penyajian ceritanya, pengarang
memberi dimensi baru dari kenyataan yang ada dan kemudian memberikan pengalaman
hidup yang baru dan cara memandang kehidupan yang arif dan penuh kebijakan dan
kebajikan bagi pembacanya. Dengan demikian karya tersebut
tidak hanya sekedar hiburan tetapi dapat membentuk perilaku kehidupan (Sumardjo
dan Saini, 1991: 37).
Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini memberikan wawasan
tentang kehidupan melalui tema, penokohan, dan amanat (pesan) cerita-ceritanya,
yaitu tentang perselingkuhan dan liku-likunya, tanpa bersifat menggurui
pembacanya seperti kutipan berikut ini:
Ini tidak
adil!Aku tidak pernah ingin dilahirkan seperti ini, ketika hidup akhirnya
kujalani sepenuh hati dan mencari kebahagiaan dengan caraku sendiri,… tuhan, aku takut kepadaMu dan Kau tahu itu!
Aku bersedia tanpa banyak bicara untuk hidup sendiri tanpa cinta. Aku tak mempermasalahkan
Kau memberikan pasangan yang bertahun hanya menempatkanku di posisi kedua. Aku
tidak mengeluh berkali-kali aku jatuh tanpa ada yang pedul. Aku tidak mau
menghitung dan menimbang walaupun aku tahu teman-teman di dekatku
jumlahnyalebih banyak yang jahat daripada yang baik. Aku terima hidup yang tak
lebih baik dari tempat sampah karena aku tahu suatu saat akan Kau ijinkan
berubah … (hlm. 63)
Di samping itu, kumpulan cerpen ini disajikan
dengan bahasa yang santai dan lugas sehingga terkesan tidak menampilkan
permasalahan kehidupan yang serius atau tidak berusaha meresapi hakikat
kehidupan. Namun demikian, kumpulan ini secara implisit berupaya memberikan
pengalaman yang berharga pada pembacanya atau paling tidak mengajaknya untuk
meresapi dan merenungkan permasalahan yang dikemukakan.
Secara implisit, kumpulan cerpen ini juga
mengandung kritik sosial melaui penyajian tentang kenyataan sosial yang ada
dalam masyarakat saat ini secara gamblang, menarik, aktual, serta terus terang
tentang seluk beluk perselingkuhan yang patut direnungkan secara mendalam oleh
pembacanya, suatu realitas sosial yang dulu dianggap tabu dan tidak dilanggar
tapi sekarang muncul dan nyata di dalam kehidupan masyarakat modern ini.
III. PENUTUP
Dari uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa kumpulan cerpen Tamara Geraldine memiliki nilai estetis yang cukup baik,
dalam segi “kesatuan dalam keragaman” (unity
in variety), “kontemplasi objektif” (disinterested
contemplation), “distansi estetis” (aesthetic
distance), “penciptaan kerangka
seni” (framing), “ciptaan” (invention), “imajinasi”, dan “kreasi”.
Meskipun belum nampak hal-hal yang sangat menonjol dan menambah unsur-unsur
yang baru, serta cerita-cerita yang “tak terduga” dan “mengejutkan” yang mana
semuanya ini dapat menjadikan kumpulan cerpen ini suatu karya sastra yang
bermutu. Di samping itu, kumpulan cerpen dapat memberikan hiburan, manfaat dan
nilai kognitif bagi para pembacanya.
Namun,
sebagai penulis cerpen pemula, Tamara Geraldine telah menampakkan sensitivitas
feminine, religiusitas, dan kemampuan bercerita yang lancar. Selanjutnya
apabila dia menyelam lebih dalam laut kehidupan dan merangkum pengalaman
manusia yang lebih meluas, hari depannya sebagai pengarang cerita pendek
(mudah-mudahan novel) sangat menjanjikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminuddin. 2005. Pengantar
Apresiasi Sastra. Bandung:
PT. Sinar Baru Algesindo.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori
Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Geraldine, Tamara. 2005. Kamu
Sadar, Saya Punya Alasan untuk selingkuh ‘Kan Sayang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lie, Shirley. 2005. Pembebasan
Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simon de Beauvoir terhadap Budaya Patriakhat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
Luxemburg,
Jan van, dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Luxemburg,
Jan van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta:
PT. Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University
Press.
Sumarjo, Jacob dan Saini, K.M. 1991. Apresiasi
Kesusatraan.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2005. Teori Kesusasteraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Giri Mukti.
No comments:
Post a Comment