Kemerdekaan Indonesia
telah dicapai selama 65 tahun. Suatu
usia yang tidak muda. Seandainya Indonesia itu manusia, ia mulai menginjak
lansia. Jika ia seorang lansia, umumnya sudah uzur atau tidak produktif lagi.
Masa lansia merupakan masa beristirahat. Hasil jerih payahnya selama
berpuluh-puluh tahun berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya tinggal
dinikmatinya. Waktu yang tersisa biasanya digunakannya untuk lebih mendekatkan
diri kepada Tuhannya. Dirinya hanya tinggal menghitung waktu kapan dirinya
dipanggil oleh-Nya. Tapi bagaimana dengan Indonesia?
Dulu sering kita dengar slogan-slogan, misalnya
negara Indonesia sebagai negeri yang ”Gemah ripah loh jinawi”, dengan ”Tanah
Surga” yang mengubah tongkat kayu dan batu jadi tanaman, atau sebagai ”Untaian
Mutiara di Khatulistiwa”. Apakah semua itu masih tercermin dalamkondisi
kekinian Indonesia?
Tulisan ini akan mengulas bagaimana kekinian kondisi
Indonesia dilihat dari prospektif sosial budaya dan bagaimana proyeksinya
dengan pandangan prospektif? Tulisan ini berisi tentang pemikiran-pemikiran
sederhana, baik dari penulis pribadi maupun dari apa yang telah dibaca,
dilihat, dan didengar olehnya. Yang mendorong penulis memaparkan
gagasan-gagasan tersebut adalah keprihatinan, kegelisahan, dan kecemasan
penulis pribadi terhadap persoalan-persoalan masa depan Indonesia yang kian
hari, menurut pandangan pribadi penulis, kian memprihatinkan. Gagasan-gagasan
tersebut bersifat antisipatoris, yakni memepersiapkan diri untuk sesuatu yang
akan terjadi (Buchori, 1995: vii). Penulis berharap gagasan-gagasan yang
sederhana, jujur, dan tidak mengandung kepentingan tertentu, dapat sedikit
memberikan pencerahan mengenai bagaimana proyeksi transformasi Indonesia menuju
”Indonesia Lebih Baik” yang sangat diharapkan saat ini dapat terwujud.
Transformasi Indonesia yang penulis maksud adalah perubahan
wajah dan watak Indonesia.
Proses transformasi tersebut diharapkan menghasilkan perubahan yang bersifat
positif sehingga melahirkan perbaikan-perbaikan yang akan membawa kemajuan bagi
bangsa Indonesia.
Proses ini mutlak diperlukan mengingat Indonesia
telah dilanda krisis multidimensi yang diawali dengan krisis ekonomi dimulai
pada tahun 1998 yang membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan,
utamanya dalam bidang sosial budaya.
Bangsa Indonesia telah
kehilangan jati dirinya. Tanpa jati diri yang kuat, sebuah kebudayaan akan
disingkirkan oleh kebudayaan lainnya. Lihat saja, keputusan-keputusan politik,
sosial, dan ekonomi yang telah ditentukan tidak didasarkan atas kesadaran
kolektif bangsa Indonesia,
tapi memiliki kecenderungan mengikuti pemikiran-pemikiran dan pengaruh
bangsa-bangsa lainnya. Jati diri
bangsa yang kuat dapat kita lihat pada bangsa Jepang. Perubahan dalam
percaturan internasional apa pun tidak memiliki dampak yang besar pada
kebudayaan Jepang itu sendiri.
Karena kehilangan jati dirinya, bangsa Indonesia
juga kehilangan harga dirinya. Beberapa produk budaya asli Indonesia telah
diklaim oleh negara tetangga sebagai produk budaya mereka, bahkan telah
mendapatkan hak paten. Bangsa Indonesia bukan lagi dipandang sebagai bangsa
yang besar dan memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) yang
besar pula. Bangsa Indonesia kurang memiliki wibawa di mata bangsa lain dibandingkan
dengan bangsa besar lainya. Bahkan banyak orang Indonesia tidak bangga sebagai
bangsa Indonesia!
Angin perubahan (wind of change) yang dihembuskan sejak runtuhnya rezim Soeharto
pada tahun 1998 sampai sekarang ternyata masih jalan di tempat. Dibukanya keran
kebebasan bagi bangsa Indonesia setelah dibelenggu oleh Orde Baru justru
membuat bangsa ini menjadi kebablasan! Bak
burung yang baru saja lepas dari sangkarnya, dia terbang melesat ke angkasa
tanpa menghiraukan ke mana arah tujuan sebenarnya.
Belum lagi krisis multi-dimensional yang timbul
menambah keterpurukan bangsa Indonesia. Masalah-masalah politik, hukum, ekonomi,
dan pertahanan-keamanan bermunculan. Rakyat Indonesia tidak memiliki
kepercayaaan kepada para wakilnya karena ternyata mereka yang notabene wakil rakyat tidak merakyat!
Keberpihakan mereka kepada rakyat dipertanyakan karena ternyata mereka hanya
corong bagi kepentingan pribadi dan golongannya! Ironisnya, mereka telah
dipilih secara langsung oleh rakyat sendiri. Rakyat yang masih belum bisa
bangkit dari krisis ekonomi diombang-ambingkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah yang jelas-jelas tidak memihak pada kepentingan rakyat tapi didukung
oleh mayoritas wakil rakyat! Satu contoh, beberapa wakil rakyat dengan alasan studi
banding pergi ke luar negeri dan menghabiskan uang rakyat sampai milyaran
rupiah, sementara banyak rakyat miskin yang harus makan nasi aking akibat tidak
mampu membeli beras dan jangan dilupakan para balita yang menderita gizi buruk
akibat para orang tua mereka tidak mampu memberikan!
Selain itu, masalah penegakan hukum yang lemah dan
sering kali berstandar ganda telah mencoreng muka bangsa Indonesia sendiri. Ada
sepasang suami istri yang masih pegantin baru di Ponorogo, Jawa Timur harus
mendekam dalam penjara selama beberapa bulan sebelum akhirnya dibebaskan hanya
gara-gara mencuri setandon pisang milik tetangga karena kelaparan. Sementara
itu, para koruptor yang telah merampok uang negara sampai trilyunan rupiah
bebas melanglang buana. Juga, seorang maling ayam yang telah dijebloskan ke
dalam jeruji besi harus rela berdesak-desakan dengan puluhan rekan-rekan sesama
narapidana di dalam ruang tahanan yang sempit dan pengap. Namun, narapidana
yang berduit dan telah menyebabkan kerugian Negara yang sangat besar bisa
mengubah ruang tahanannya bak hotel berbintang lima!
Meski laporan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia menunjukkan hasil yang menggembirakan mengingat banyak negara yang
belum dapat bangkit dari masalah krisis ekonomi yang dimulai dari krisis
keuangan pada akhir masa pemerintahan George Walker Bush, akhir tahun 2006,
yang akhirnya merambat ke negara-negara lainnya. Tapi, nampaknya negara
Indonesia tidak terlalu terpengaruh. Namun demikian, sebagian besar rakyat
Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah pengangguran yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah lapangan kerja yang tersedia berbanding
terbalik dengan jumlah angkatan kerja. Artinya, lowongan kerja yang ada tidak
dapat menampung angkatan kerja yang jumlahnya semakin banyak. Di tambah lagi jumlah
anak putus sekolah meningkat akibat mahalnya biaya pendidikan! Konon,
pendapatan migas Indonesia yang diperoleh dari perusahaan asing-perusahaan
asing yang beroperasi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan pendapatan
pajakdari penjualan telepon seluler!
Ancaman teroris juga tak bisa diremehkan meskipun
para gembongnya telah dilumpuhkan. Lagi-lagi, rakyat yang tak berdosa jadi
korban. Banyak sudah jiwa melayang dan raga yang terluka akibat serangan bom
mereka dengan dalih menegakkan ajaran agama mereka melalui perang suci demi
tegaknya kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. Tapi apakah itu yang
dinamakan kebenaran dan keadilan jika harus mengorbankan rakyat yang tak
berdosa? Padahal agama itu pasti membawa kedamaian bagi para pemeluknya. Belum
lagi klaim negara tetangga atas beberapa wilayah yang merupakan bagian dari
wilayah Indonesia! Atau beberapa pesawat udara atau kapal berbendera asing yang
secara sengaja dan dengan seenaknya memasuki wilayah teritorial Indonesia. Dan
masih banyak masalah-masalah lainnya yang mengancam berbagai aspek kehidupan
bangsa Indonesia.
Lalu apa yang harus kita lalukan sebagai bagian
dari bangsa Indonesia? Pertama, nampaknya ”revisited
nation building” atau pembentukan
karakter bangsa yang dulu pernah ditegakkan pada masa Orde Baru meski dengan
cara ”keterpaksaan” dapat ditinjau kembali dan disempurnakan lalu
diimplementasikan untuk digalakkan kembali. Pendidikan agama dan budi pekerti atau
yang menyentuh ranah afektif setiap individu perlu diintegrasikan ke seluruh
aspek kehidupan bangsa Indonesia guna menegakkan kembali jatidiri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan berperikemanusiaan. Bukan bangsa
yang primitif dan barbarian yang
selalu mengedepankan kekerasan dan kekuatan fisik dalam menyelesaikan segala
bentuk permasalahan.
Kedua adalah berkaitan dengan aspek kecerdasan kognitif
bangsa Indonesia. Tuhan telah menganugerahkan kecerdasan dan kepandaian kepada
makhlukNya yang bernama manusia untuk mengangkat derajat manusia itu
sendiri.Tuhan tidak membiarkan manusia hanya menyembahNya tanpa berbuat sesuatu
untuk mengangkat harkat dan martabat mereka sendiri. Bagaimana melakukannya?
Mari kita galakkan bangsa Indonesia menjadi bangsa penulis! Mengapa menulis? Menulis
membutuhkan pikiran kritis. Berpikir kritis memerlukan kemampuan mengorganisasi
pikiran dan disiplin untuk mengorganisasikan pikiran (Darma, 2007: 5, 7).
Bagaimana cara mengorganisasikan pikiran memerlukan bahan yang mungkin didapat
dari membaca dan mendengar. Dengan menulis, kita terdorong untuk banyak
membaca, melihat, dan mendengar. Selama ini bangsa Indonesia seringkali hanya
mendengar atau melihat saja kemudian menirukan apa yang didengar atau dilihat.
Mengapa bukan berbicara? Seringkali kita menemukan
banyak orang yang pandai berbicara tapi tidak pandai menulis. Seringkali kita
menjumpai banyak pemikiran-pemikiran yang benar dan cemerlang justru terdapat
dalam tulisan-tulisan yang dihasilkan setelah melalui proses pemikiran yang matang
dibandingkan dengan ungkapan secara lisan yang cenderung bersifat spontan dan
sporadis. Dengan menjadi anggota Jaringan Penulis Indonesia dan aktif berkarya lewa
tulisan adalah salah satu langkah awal dan upaya menjadikan ”Indonesia Lebih
Baik”!
Melalui pemikiran atau ide brilian yang dihasilkan
dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan diharapkan lambat laun dapat
meningkatkan harga diri bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bukan lagi sebagai
”bangsa kuli atau tukang” tapi bangsa yang memiliki jatidiri, kematangan dan
kebenaran.
Demikianlah uraian pemikiran yang sangat sederhana
namun memiliki ambisi dan obsesi agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
lebih baik. Mudah-mudahan dengan kesederhanaan ini dapat memberikan sedikit
sumbang saran bagi proyeksi masa depan Indonesia yang lebih cerah. Wallahu
a’lam.
REFERENSI
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP
Muhammadiyah Jakarta Press dan PT Pustaka Sinar Harapan.
Darma,Budi. 2007. Bahasa,Sastra,dan Budi Darma. Surabaya:
JP Books.
No comments:
Post a Comment