Masih
segar dalam ingatan kita beberapa bulan lalu ketika MUI mengeluarkan fatwa
bahwa Facebook, salah satu jejaring sosial yang fenomenal, adalah haram. Berbagai
argumentasi lalu bermunculan, baik yang pro maupun kontra tentang fatwa
tersebut. Yang mendukung facebook mengatakan bahwa facebook memiliki manfaat,
antara lain bahwa Facebook telah terbukti mempererat kembali hubungan pertemanan
atau perkawanan yang telah berstatus quo selama
bertahun-tahun dan kini bersambung kembali. Bahkan ada yang menyebut FB
(singkatan umum untuk Facebook) merupakan Forum
Bersilaturahim.
Facebook
juga bermanfaat untuk penyebaran (dissemination)
informasi, pengetahuan serta berbagi pengalaman melalui sharing oleh para penggunanya (facebookers). Namun dampak negatif dari sharing inilah yang bisa berakibat
fatal. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain penurunan
produktifitas kerja atau kinerja para penggunanya. Waktu yang seharusnya
digunakan untuk berkarya dialihkan untuk memberi komentar-komentar, bermain
dengan game atau kuis, atau chatting dengan sesame teman di
Facebook, yang sebenarnya tidak perlu. Pemkot Surabaya bahkan pernah melarang
para pegawainya menggunakan atau mengakses jejaring sosial ini selama jam
kantor. Hal ini juga berlaku untuk para
pelajar dan mahasiswa, bahkan para ibu
rumah tangga.
Dampak
negatif lainnya adalah ketidakharmonisan rumah tangga. Karena “pertemuan”
kembali dengan orang-orang yang pernah menjalin kisah romantis di Facebook, seperti
yang dikisahkan Gigi dalam lagunya My
Facebook, banyak pasangan suami-istri yang mulai “membagi perhatian” kepada
orang-orang yang bukan pasangannya dan mulai terlena oleh alam nostalgia
romantisme masa lalu. Anak-anak mereka juga mulai terabaikan. Hal inilah yang
yang menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya percekcokan bahkan
dapat berakhirnya dengan kematian salah satu pasangan tersebut.
Namun,
ada hal yang menarik tentang Facebook yang mencuat akhir-akhir ini. Facebook
ternyata dapat menggalang dukungan dari berbagai kalangan tentang suatu masalah
yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Artikel ini membahas tentang
peranan Facebook sebagai agen kekuatan sosial dan dampak dari peranan tersebut.
Kekuatan Sosial
Facebook sebagai suatu jejaring sosial yang
menghubungkan orang-orang dan teman-temannya dapat diakses mereka yang memiliki
beragam latar belakang: budaya, agama, ras, pendidikan, usia, jenis kelamin, sosial
ekonomi, minat, dan sebagainya. Apabila para facebookers dipersatukan maka akan tercipta suatu kekuatan sosial
yang luar biasa meskipun sebenarnya mereka berada dalam dunia maya. Kekuatannya
bahkan jauh melebihi kekuatan sosial lainnya karena mereka tidak terbatas ruang
dan waktu. Kekuatan sosial ini bahkan dapat mengancam dan memberikan tekanan
bagi eksistensi seseorang, lembaga, bahkan negara, terutama yang tidak
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan tidak melalui koridor norma-norma sosial.
Melalui
dukungan para facebookers, dana kampanye seorang presiden suatu negara adi
kuasa, yakni Barack Obama bisa mencapai trilyunan rupiah. Melalui Facebook, konsentrasi
para pengunjuk rasa untuk menentang suatu hegemoni kekuasaan yang korup seperti
di Thailand
bisa digalang. Melalui tekanan para facebookers
Prita Mulyasari yang tadinya
dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik karena e-mail yang berisi “curhat’ kepada teman-temannya, akhirnya
dibebaskan, meski sampai sekarang masih harus menjalani persidangan. Tapi
setidaknya Prita bisa berkumpul kembali dengan suami dan anak-anaknya sehingga
ASI-nya dapat terus diberikan kepada anak-anaknya.
Saat
ini juga dukungan para facebookers juga
terus mengalir dan dapat menembus angka sedikitnya satu juta orang mendukung
dibebaskannya Bibit-Candra, dua orang jajaran Pimpinan KPK yang dituduh
menerima suap dari koruptor yang kasusya sebenarnya tengah mereka tangani,
Anggoro Widodo. Dan terbukti akhirnya mereka berdua dibebaskan meskipun masih
panjang persidangan yang harus mereka tempuh. Namun pembebasan mereka dari
dingin dan pengapnya penjara menunjukkan bahwa setidaknya tekanan dari facebookers ini memiliki “greget” yang
tidak boleh diremehkan. Ini baru dukungan moril. Dan mereka masih belum
menampakkan batang hidung mereka dalam bentuk demonstrasi seperti di negara
tetangga kita, sesama negara ASEAN, yakni Thailand. Dan Indonesia merupakan
negara yang memiliki pengguna Facebook terbesar ketujuh di dunia.
Kekuatan riil
Kekuatan sosial
yang secara potensial dimiliki Facebook merupakan kekuatan riil. Disebut riil
karena motivasi dukungan para penggunanya adalah objektif. Mereka memberikan
dukungan murni berdasarkan motivasi internal dan hati nurani mereka sendiri,
tanpa ada intimidasi dan paksaan dari pihak luar. Mereka bebas menentukan
pilihan, seperti halnya ketika mereka memilih apakan menjadi pengguna jejaring
social tersebut atau tidak. Bagi mereka yang tidak menentukan pilihan pun, itu
juga pilihan mereka.
Dengan
demikian, dukungan yang diberikan facebookers
tidak memiliki tendensi atau kepentingan praktis (practical interests) maupun politis tertentu. Dukungan ini
menyuarakan kebenaran dan ini adalah riil. Kekuatan yang tercipta dari dukungan
ini adalah juga riil. Kekuatan yang riil ini merupakan potensi yang tidak boleh
diremehkan.
Akhirnya,
terlepas dari kontroversi apakah Facebook membawa perubahan yang positif atau
negatif, kita sebaiknya menyikapi fenomena Facebook dengan bijak, seperti
halnya kita menyikapi rokok. Kita memahami keduanya memiliki kemampuan destruktif
tapi kita tidak dapat mengeliminasi keberadaan keduanya karena sudah mengakar
kuat dalam masyarakat kita. Kita dapat memanfaatkannya secara arif untuk sesuatu
yang membawa perubahan yang konstruktif. Dan hal ini bukan suatu yang terlarang
di negeri ini.
No comments:
Post a Comment