Tuesday, March 31, 2015

TRANSFORMASI INDONESIA MENYONGSONG ”INDONESIA LEBIH BAIK”: SUATU PANDANGAN PROSPEKTIF




Kemerdekaan Indonesia telah dicapai selama 65 tahun. Suatu usia yang tidak muda. Seandainya Indonesia itu manusia, ia mulai menginjak lansia. Jika ia seorang lansia, umumnya sudah uzur atau tidak produktif lagi. Masa lansia merupakan masa beristirahat. Hasil jerih payahnya selama berpuluh-puluh tahun berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya tinggal dinikmatinya. Waktu yang tersisa biasanya digunakannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dirinya hanya tinggal menghitung waktu kapan dirinya dipanggil oleh-Nya. Tapi bagaimana dengan Indonesia?
Dulu sering kita dengar slogan-slogan, misalnya negara Indonesia sebagai negeri yang ”Gemah ripah loh jinawi”, dengan ”Tanah Surga” yang mengubah tongkat kayu dan batu jadi tanaman, atau sebagai ”Untaian Mutiara di Khatulistiwa”. Apakah semua itu masih tercermin dalamkondisi kekinian Indonesia?
Tulisan ini akan mengulas bagaimana kekinian kondisi Indonesia dilihat dari prospektif sosial budaya dan bagaimana proyeksinya dengan pandangan prospektif? Tulisan ini berisi tentang pemikiran-pemikiran sederhana, baik dari penulis pribadi maupun dari apa yang telah dibaca, dilihat, dan didengar olehnya. Yang mendorong penulis memaparkan gagasan-gagasan tersebut adalah keprihatinan, kegelisahan, dan kecemasan penulis pribadi terhadap persoalan-persoalan masa depan Indonesia yang kian hari, menurut pandangan pribadi penulis, kian memprihatinkan. Gagasan-gagasan tersebut bersifat antisipatoris, yakni memepersiapkan diri untuk sesuatu yang akan terjadi (Buchori, 1995: vii). Penulis berharap gagasan-gagasan yang sederhana, jujur, dan tidak mengandung kepentingan tertentu, dapat sedikit memberikan pencerahan mengenai bagaimana proyeksi transformasi Indonesia menuju ”Indonesia Lebih Baik” yang sangat diharapkan saat ini dapat terwujud.
Transformasi Indonesia yang penulis maksud adalah perubahan wajah dan watak Indonesia. Proses transformasi tersebut diharapkan menghasilkan perubahan yang bersifat positif sehingga melahirkan perbaikan-perbaikan yang akan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Proses ini mutlak diperlukan mengingat Indonesia telah dilanda krisis multidimensi yang diawali dengan krisis ekonomi dimulai pada tahun 1998 yang membawa bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan, utamanya dalam bidang sosial budaya.
Bangsa Indonesia telah kehilangan jati dirinya. Tanpa jati diri yang kuat, sebuah kebudayaan akan disingkirkan oleh kebudayaan lainnya. Lihat saja, keputusan-keputusan politik, sosial, dan ekonomi yang telah ditentukan tidak didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa Indonesia, tapi memiliki kecenderungan mengikuti pemikiran-pemikiran dan pengaruh bangsa-bangsa lainnya. Jati diri bangsa yang kuat dapat kita lihat pada bangsa Jepang. Perubahan dalam percaturan internasional apa pun tidak memiliki dampak yang besar pada kebudayaan Jepang itu sendiri.
Karena kehilangan jati dirinya, bangsa Indonesia juga kehilangan harga dirinya. Beberapa produk budaya asli Indonesia telah diklaim oleh negara tetangga sebagai produk budaya mereka, bahkan telah mendapatkan hak paten. Bangsa Indonesia bukan lagi dipandang sebagai bangsa yang besar dan memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) yang besar pula. Bangsa Indonesia kurang memiliki wibawa di mata bangsa lain dibandingkan dengan bangsa besar lainya. Bahkan banyak orang Indonesia tidak bangga sebagai bangsa Indonesia!
Angin perubahan (wind of change) yang dihembuskan sejak runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 sampai sekarang ternyata masih jalan di tempat. Dibukanya keran kebebasan bagi bangsa Indonesia setelah dibelenggu oleh Orde Baru justru membuat bangsa ini menjadi kebablasan! Bak burung yang baru saja lepas dari sangkarnya, dia terbang melesat ke angkasa tanpa menghiraukan ke mana arah tujuan sebenarnya.
Belum lagi krisis multi-dimensional yang timbul menambah keterpurukan bangsa Indonesia. Masalah-masalah politik, hukum, ekonomi, dan pertahanan-keamanan bermunculan. Rakyat Indonesia tidak memiliki kepercayaaan kepada para wakilnya karena ternyata mereka yang notabene wakil rakyat tidak merakyat! Keberpihakan mereka kepada rakyat dipertanyakan karena ternyata mereka hanya corong bagi kepentingan pribadi dan golongannya! Ironisnya, mereka telah dipilih secara langsung oleh rakyat sendiri. Rakyat yang masih belum bisa bangkit dari krisis ekonomi diombang-ambingkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang jelas-jelas tidak memihak pada kepentingan rakyat tapi didukung oleh mayoritas wakil rakyat! Satu contoh, beberapa wakil rakyat dengan alasan studi banding pergi ke luar negeri dan menghabiskan uang rakyat sampai milyaran rupiah, sementara banyak rakyat miskin yang harus makan nasi aking akibat tidak mampu membeli beras dan jangan dilupakan para balita yang menderita gizi buruk akibat para orang tua mereka tidak mampu memberikan!
Selain itu, masalah penegakan hukum yang lemah dan sering kali berstandar ganda telah mencoreng muka bangsa Indonesia sendiri. Ada sepasang suami istri yang masih pegantin baru di Ponorogo, Jawa Timur harus mendekam dalam penjara selama beberapa bulan sebelum akhirnya dibebaskan hanya gara-gara mencuri setandon pisang milik tetangga karena kelaparan. Sementara itu, para koruptor yang telah merampok uang negara sampai trilyunan rupiah bebas melanglang buana. Juga, seorang maling ayam yang telah dijebloskan ke dalam jeruji besi harus rela berdesak-desakan dengan puluhan rekan-rekan sesama narapidana di dalam ruang tahanan yang sempit dan pengap. Namun, narapidana yang berduit dan telah menyebabkan kerugian Negara yang sangat besar bisa mengubah ruang tahanannya bak hotel berbintang lima!
Meski laporan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan hasil yang menggembirakan mengingat banyak negara yang belum dapat bangkit dari masalah krisis ekonomi yang dimulai dari krisis keuangan pada akhir masa pemerintahan George Walker Bush, akhir tahun 2006, yang akhirnya merambat ke negara-negara lainnya. Tapi, nampaknya negara Indonesia tidak terlalu terpengaruh. Namun demikian, sebagian besar rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah pengangguran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah lapangan kerja yang tersedia berbanding terbalik dengan jumlah angkatan kerja. Artinya, lowongan kerja yang ada tidak dapat menampung angkatan kerja yang jumlahnya semakin banyak. Di tambah lagi jumlah anak putus sekolah meningkat akibat mahalnya biaya pendidikan! Konon, pendapatan migas Indonesia yang diperoleh dari perusahaan asing-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan pendapatan pajakdari penjualan telepon seluler!
Ancaman teroris juga tak bisa diremehkan meskipun para gembongnya telah dilumpuhkan. Lagi-lagi, rakyat yang tak berdosa jadi korban. Banyak sudah jiwa melayang dan raga yang terluka akibat serangan bom mereka dengan dalih menegakkan ajaran agama mereka melalui perang suci demi tegaknya kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. Tapi apakah itu yang dinamakan kebenaran dan keadilan jika harus mengorbankan rakyat yang tak berdosa? Padahal agama itu pasti membawa kedamaian bagi para pemeluknya. Belum lagi klaim negara tetangga atas beberapa wilayah yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia! Atau beberapa pesawat udara atau kapal berbendera asing yang secara sengaja dan dengan seenaknya memasuki wilayah teritorial Indonesia. Dan masih banyak masalah-masalah lainnya yang mengancam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Lalu apa yang harus kita lalukan sebagai bagian dari bangsa Indonesia? Pertama, nampaknya ”revisited nation building” atau pembentukan karakter bangsa yang dulu pernah ditegakkan pada masa Orde Baru meski dengan cara ”keterpaksaan” dapat ditinjau kembali dan disempurnakan lalu diimplementasikan untuk digalakkan kembali. Pendidikan agama dan budi pekerti atau yang menyentuh ranah afektif setiap individu perlu diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia guna menegakkan kembali jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan berperikemanusiaan. Bukan bangsa yang primitif dan barbarian yang selalu mengedepankan kekerasan dan kekuatan fisik dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan.
Kedua adalah berkaitan dengan aspek kecerdasan kognitif bangsa Indonesia. Tuhan telah menganugerahkan kecerdasan dan kepandaian kepada makhlukNya yang bernama manusia untuk mengangkat derajat manusia itu sendiri.Tuhan tidak membiarkan manusia hanya menyembahNya tanpa berbuat sesuatu untuk mengangkat harkat dan martabat mereka sendiri. Bagaimana melakukannya? Mari kita galakkan bangsa Indonesia menjadi bangsa penulis! Mengapa menulis? Menulis membutuhkan pikiran kritis. Berpikir kritis memerlukan kemampuan mengorganisasi pikiran dan disiplin untuk mengorganisasikan pikiran (Darma, 2007: 5, 7). Bagaimana cara mengorganisasikan pikiran memerlukan bahan yang mungkin didapat dari membaca dan mendengar. Dengan menulis, kita terdorong untuk banyak membaca, melihat, dan mendengar. Selama ini bangsa Indonesia seringkali hanya mendengar atau melihat saja kemudian menirukan apa yang didengar atau dilihat.
Mengapa bukan berbicara? Seringkali kita menemukan banyak orang yang pandai berbicara tapi tidak pandai menulis. Seringkali kita menjumpai banyak pemikiran-pemikiran yang benar dan cemerlang justru terdapat dalam tulisan-tulisan yang dihasilkan setelah melalui proses pemikiran yang matang dibandingkan dengan ungkapan secara lisan yang cenderung bersifat spontan dan sporadis. Dengan menjadi anggota Jaringan Penulis Indonesia dan aktif berkarya lewa tulisan adalah salah satu langkah awal dan upaya menjadikan ”Indonesia Lebih Baik”!
Melalui pemikiran atau ide brilian yang dihasilkan dalam tulisan-tulisan yang dipublikasikan diharapkan lambat laun dapat meningkatkan harga diri bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bukan lagi sebagai ”bangsa kuli atau tukang” tapi bangsa yang memiliki jatidiri, kematangan dan kebenaran.
Demikianlah uraian pemikiran yang sangat sederhana namun memiliki ambisi dan obsesi agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Mudah-mudahan dengan kesederhanaan ini dapat memberikan sedikit sumbang saran bagi proyeksi masa depan Indonesia yang lebih cerah. Wallahu a’lam.

           

REFERENSI


Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press dan PT Pustaka Sinar Harapan.

Darma,Budi. 2007. Bahasa,Sastra,dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.

FACEBOOK DAN KEKUATAN SOSIAL




            Masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan lalu ketika MUI mengeluarkan fatwa bahwa Facebook, salah satu jejaring sosial yang fenomenal, adalah haram. Berbagai argumentasi lalu bermunculan, baik yang pro maupun kontra tentang fatwa tersebut. Yang mendukung facebook mengatakan bahwa facebook memiliki manfaat, antara lain bahwa Facebook telah terbukti mempererat kembali hubungan pertemanan atau perkawanan yang telah berstatus quo selama bertahun-tahun dan kini bersambung kembali. Bahkan ada yang menyebut FB (singkatan umum untuk Facebook) merupakan Forum Bersilaturahim.
            Facebook juga bermanfaat untuk penyebaran (dissemination) informasi, pengetahuan serta berbagi pengalaman melalui sharing oleh para penggunanya (facebookers). Namun dampak negatif dari sharing inilah yang bisa berakibat fatal. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, antara lain penurunan produktifitas kerja atau kinerja para penggunanya. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berkarya dialihkan untuk memberi komentar-komentar, bermain dengan game atau kuis, atau chatting dengan sesame teman di Facebook, yang sebenarnya tidak perlu. Pemkot Surabaya bahkan pernah melarang para pegawainya menggunakan atau mengakses jejaring sosial ini selama jam kantor. Hal ini juga  berlaku untuk para pelajar  dan mahasiswa, bahkan para ibu rumah tangga.
            Dampak negatif lainnya adalah ketidakharmonisan rumah tangga. Karena “pertemuan” kembali dengan orang-orang yang pernah menjalin kisah romantis di Facebook, seperti yang dikisahkan Gigi dalam lagunya My Facebook, banyak pasangan suami-istri yang mulai “membagi perhatian” kepada orang-orang yang bukan pasangannya dan mulai terlena oleh alam nostalgia romantisme masa lalu. Anak-anak mereka juga mulai terabaikan. Hal inilah yang yang menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya percekcokan bahkan dapat berakhirnya dengan kematian salah satu pasangan tersebut.
            Namun, ada hal yang menarik tentang Facebook yang mencuat akhir-akhir ini. Facebook ternyata dapat menggalang dukungan dari berbagai kalangan tentang suatu masalah yang tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Artikel ini membahas tentang peranan Facebook sebagai agen kekuatan sosial dan dampak dari peranan tersebut.

Kekuatan Sosial

            Facebook sebagai suatu jejaring sosial yang menghubungkan orang-orang dan teman-temannya dapat diakses mereka yang memiliki beragam latar belakang: budaya, agama, ras, pendidikan, usia, jenis kelamin, sosial ekonomi, minat, dan sebagainya. Apabila para facebookers dipersatukan maka akan tercipta suatu kekuatan sosial yang luar biasa meskipun sebenarnya mereka berada dalam dunia maya. Kekuatannya bahkan jauh melebihi kekuatan sosial lainnya karena mereka tidak terbatas ruang dan waktu. Kekuatan sosial ini bahkan dapat mengancam dan memberikan tekanan bagi eksistensi seseorang, lembaga, bahkan negara, terutama yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan tidak melalui koridor norma-norma sosial.
            Melalui dukungan para facebookers, dana kampanye seorang presiden suatu negara adi kuasa, yakni Barack Obama bisa mencapai trilyunan rupiah. Melalui Facebook, konsentrasi para pengunjuk rasa untuk menentang suatu hegemoni kekuasaan yang korup seperti di Thailand bisa digalang. Melalui tekanan para facebookers  Prita Mulyasari yang tadinya dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik karena e-mail yang berisi “curhat’ kepada teman-temannya, akhirnya dibebaskan, meski sampai sekarang masih harus menjalani persidangan. Tapi setidaknya Prita bisa berkumpul kembali dengan suami dan anak-anaknya sehingga ASI-nya dapat terus diberikan kepada anak-anaknya.
            Saat ini juga dukungan para facebookers juga terus mengalir dan dapat menembus angka sedikitnya satu juta orang mendukung dibebaskannya Bibit-Candra, dua orang jajaran Pimpinan KPK yang dituduh menerima suap dari koruptor yang kasusya sebenarnya tengah mereka tangani, Anggoro Widodo. Dan terbukti akhirnya mereka berdua dibebaskan meskipun masih panjang persidangan yang harus mereka tempuh. Namun pembebasan mereka dari dingin dan pengapnya penjara menunjukkan bahwa setidaknya tekanan dari facebookers ini memiliki “greget” yang tidak boleh diremehkan. Ini baru dukungan moril. Dan mereka masih belum menampakkan batang hidung mereka dalam bentuk demonstrasi seperti di negara tetangga kita, sesama negara ASEAN, yakni Thailand. Dan Indonesia merupakan negara yang memiliki pengguna Facebook terbesar ketujuh di dunia.
           
Kekuatan riil

            Kekuatan sosial yang secara potensial dimiliki Facebook merupakan kekuatan riil. Disebut riil karena motivasi dukungan para penggunanya adalah objektif. Mereka memberikan dukungan murni berdasarkan motivasi internal dan hati nurani mereka sendiri, tanpa ada intimidasi dan paksaan dari pihak luar. Mereka bebas menentukan pilihan, seperti halnya ketika mereka memilih apakan menjadi pengguna jejaring social tersebut atau tidak. Bagi mereka yang tidak menentukan pilihan pun, itu juga pilihan mereka.
            Dengan demikian, dukungan yang diberikan facebookers tidak memiliki tendensi atau kepentingan praktis (practical interests) maupun politis tertentu. Dukungan ini menyuarakan kebenaran dan ini adalah riil. Kekuatan yang tercipta dari dukungan ini adalah juga riil. Kekuatan yang riil ini merupakan potensi yang tidak boleh diremehkan.

            Akhirnya, terlepas dari kontroversi apakah Facebook membawa perubahan yang positif atau negatif, kita sebaiknya menyikapi fenomena Facebook dengan bijak, seperti halnya kita menyikapi rokok. Kita memahami keduanya memiliki kemampuan destruktif tapi kita tidak dapat mengeliminasi keberadaan keduanya karena sudah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Kita dapat memanfaatkannya secara arif untuk sesuatu yang membawa perubahan yang konstruktif. Dan hal ini bukan suatu yang terlarang di negeri ini.